Cingke oh Cingke…..



Tulisan ini pernah dimuat di Harian Metro dan tabloid Bunaken News

ADA suatu masa, ketika komoditi cengkih atau cingke membuat sebagian warga Minahasa merasakan nikmatnya jadi orang kaya. Ada berbagai cerita aneh tapi nyata—yang sekarang menjadi anekdot, tentang perilaku sejumlah warga menyikapi kekayaannya.
Mungkin anda pernah mendengar kisah tentang om Jek—bukan nama sebenarnya, yang membeli lemari model terbaru di sebuah toko. Dengan bangga lemari ini dipamerkan di ruang tamu. Belakangan om Jek terheran-heran setelah melihat lemari yang dibelinya—dan diisinya dengan pakaian, ternyata memiliki kabel, padahal rumahnya belum dialiri listrik. Baru beberapa bulan kemudian om Jek sadar kalau yang dibelinya adalah lemari es alias kulkas.
Simak juga kisah tentang opa Hentje, juga bukan nama sebenarnya, yang pagi hari berangkat ke Jakarta dengan pesawat Garuda, siang hari menyantap masakan Padang di sebuah restoran di Jakarta Pusat, dan sore hari kembali ke Manado dengan pesawat yang sama.
Atau kisah om Dantje, (nama samaran), yang membeli minuman bir sedemikian banyaknya, sehingga ketika para tetangga dan kerabat sudah tak sanggup minum, bir yang tersisa dipakainya mandi.
Mungkin anda pernah mendengar kisah tante Via (juga nama samaran), yang jika ke toko selalu minta ditunjukkan barang yang harganya paling mahal. Atau kisah tante Lely (bukan nama sebenarnya), yang merasa sangat terhina dan tersinggung ketika kasir di sebuah toko memberikan uang kembalian!!!
Cerita-cerita ini, yang semuanya kisah nyata dan bukan rekaan, terjadi di tahun 70-an, ketika cingke memanjakan sebagian warga karena harganya yang sangat tinggi. Saat itu cingke benar-benar membuat pemilik emas coklat ini merasakan nikmatnya kemewahan.
Namun, layaknya roda yang berputar, cingke juga pernah membuat pemiliknya terpuruk. Harganya sangat rendah, bahkan lebih rendah dibanding harga batang cingke yang dijual sebagai kayu bakar.
Di tahun ’80-an, masyarakat Kota Tondano pernah didatangi sejumlah warga yang menjajakan barang pecah belah. Para penjual adalah mereka yang sebelumnya dikenal sebagai orang kaya, namun jatuh miskin ketika harga emas terpuruk. Saat itu banyak waga Tondano yang membeli barang yang dijajakan bukan karena perlu, tapi karena didorong perasaan kasihan melihat kondisi para penjual yang mengiba-iba dan mengenaskan.
Di tahun 2000 dan 2001, di luar dugaan harga cingke kembali meroket, kendati tidak sedrastis di tahun ’70-an. Para pemilik cingke menyikapi kenaikan harga ini dengan semangat ‘membalas dendam’. Pesta digelar tak henti, termasuk acara pengucapan syukur yang menakjubkan. Uang yang di tangan dibelanjakan berbagai barang berharga. Bahkan ada yang berani memborong mobil dan sepeda motor.
Sebagian kaum muda ada yang membeli handphone, yang di masa itu masih tergolong barang ‘mewah’. Beberapa muda-mudi ada yang nekat bercerita via handphone di bawah tatapan penuh kagum masyarakat, yang tidak menyadari kalau si muda-mudi ini hanya berakting alias pura-pura, karena kawasan mereka tinggal masih tergolong blank spot alias belum ada signal!!
Terkait dengan harga cingke, seorang teman, pimpinan organisasi kepemudaan pernah berujar, dia lebh menyukai jika harga cingke tidak terlalu mahal, namun juga tidak terlalu rendah. Alasannya, dengan harga cingke yang menengah, warga pemilik komoditi ini dipaksa untuk bersikap bijak, terutama dalam hal membelanjakan uangnya.
“Kalu harga cingke mahal, pasti banya yang ba bli macam-macam. Mar kalu komang talalu rendah, dapa sayang kasiang tu warga,” ungkap dia.
Saya sendiri, secara pribadi tidak terlalu mempermasalahkan apakah harga cingke itu tinggi atau rendah (terutama karena saya memang tidak memiliki cingke barang sebiji pun, he…he…). Namun menurut hemat saya, pernyataan teman ini ada benarnya. Mungkin sebaiknya harga cingke memang tidak terlalu tinggi agar warga tidak menjadi boros. Warga Sulut, khususnya Minahasa harus berkaca pada pengalaman lalu, ketika situasi mereka sangat-sangat menderita ketika emas coklat ini terpuruk harganya.
Saat tulisan ini dibuat, harga cingke berkisar di angka 38.000 hingga 39.500 rupiah. Angka yang sebenarnya termasuk lumayan, dalam arti tidak terlalu rendah kendati juga tidak tergolong tinggi. Tinggal bagaimana sikap pemilik cingke membelanjakan uangnya secara bijak.Sekarang bukan jamannya berdemo minta harga cingke dinaikkan, namun kemudian terjerumus dalam aksi foya-foya ketika harga cingke benar-benar meroket. (*)

No comments:

.
.
Powered by Blogger.