Pasar 45, Riwayatmu Dulu…

Pernah menjadi sentra bisnis Kota manado. Kini makin asri namun lebih sepi. Akankah Pasar 45 bertahan?
Pasar 45 di tahun 1949


WIDODO (43) punya pengalaman unik seputar Pasar 45. Di sela-sela seminar yang digelar di hotel Gran Puri dia memutuskan untuk jalan-jalan ke Pasar 45. Dari depan Coco Supermarket dia menaiki mikrolet dengan trayek Wanea yang digantung di depan.

Begitu tiba di Fresh Mart, supir mikrolet menyarankannya agar turun. “Pasar 45 di sebelah sana,” ujar si supir.

Widodo pun berjalan menyusuri trotoar dan terkagum-kagum melihat patung Batalyon Worang yang nampak perkasa. Dia melihat sekeliling. Merasa bingung.

“Maaf, numpang tanya, Pasar 45 itu letaknya di mana ya?” Widodo bertanya kepada petugas Satpol PP yang nampak berjaga.


“Pasar 45? Ya  di sini tu Pasar 45…” Petugas Satpol PP menjawab dengan logat campuran.

“Oh, ini to Pasar 45? Lalu mana pasarnya?” balas Widodo bingung.

“Pasar?” ganti si petugas satpol yang bingung. “Di sini nyanda ada pasar. Memang namanya Pasar 45 tapi di sini bukang pasar,” jawab si petugas.

Widodo bukan turis lokal pertama yang ‘tertipu’ dengan nama Pasar 45. Cukup banyak juga pendatang luar Sulut yang mendatangi Pasar 45 dan membayangkan akan menemui pasar yang riuh rendah. Harapan mereka sirna. Apa yang disebut dengan Pasar 45 itu bukan pasar, dan tak lagi menjadi pasar.

***

Ada suatu masa ketika Pasar 45 menjadi ikon Kota Manado. Masa itu, di periode akhir 70-an hingga akhir 90-an, Pasar 45 merupakan denyut utama Kota Manado. Ketika semua simpul menyatu dalam kebisingan, kesemrawutan dan kekentalan hubungan antara pembeli dan penjual.

Periode 80-an mungkin merupakan puncak kepopuleran Pasar 45. Para pendatang dari ‘gunung’ (istilah orang Manado untuk menyebut mereka yang datang dari Minahasa) selalu  menjadikan Pasar 45 sebagai lokasi utama dan bahkan satu-satunya yang harus didatangi. Dengan tubuh berbalut peluh dan wajah kemerahan, para ‘orang gunung’ ini berjalan-jalan ke setiap sudut, menelusuri berbagai lapak yang ribut, memasuki toko pakaian atau sepatu, dan menjadi sasaran empuk ‘orang Malaysia yang terdampar di Manado’ yang sebenarnya adalah penipu.

Puncak keramaian di Pasar 45 saat itu adalah sore hari, ketika para pedagang kaki lima yang umumnya berdarah Gorontalo membuka lapaknya memenuhi nyaris seluruh bagian jalan. Di waktu tertentu ada penjual obat yang memukau warga dengan atraksi sulap bernuansa magis, dan menggunakan pengeras suara guna menambah efek audio. Keriuhan di pasar 45, saat itu dipertegas dengan dijadikannya areal itu sebagai perlintasan angkutan umum. Kemacetan menjadi pemandangan yang sangat biasa dan biasanya bertahan hingga jam sepuluh malam.


Pasar 45 di tahun '70-an

Kemacetan di Pasar 45 yang tinggal kenangan


***

Kepopuleran Pasar 45 menyurut setelah Walikota Manado (saat itu) Jimmy Rimba Rogi menganggap kehadiran para pedagang kaki lima merusak pemandangan dan ketertiban. Imba menganggap tidak pada tempatnya para PKL berjualan di jalan umum, dan memenuhi trotoar pertokoan.

Awalnya ide Imba untuk menertibkan Pasar 45 dianggap aneh dan mustahil. Namun dengan tegas, apa yang semula dianggap sebagai mission imposible itu akhirnya berbuahkan hasil. Kawasan Pasar 45 menjadi tertib dan asri, kendati untuk mempertahankannyaa petugas Satpol PP harus diturunkan. Di masa-masa awal penertiban, masyarakat kerap menyaksikan adegan  kejar-kejaran laksana ‘kucing dan tikus’ antara petugas Satpol PP dengan para PKL.

Belakangan, para PKL bisa menerima dan memahami situasi. Dan untuk pertama kali selama belasan tahun, masyarakat bisa melihat secara langsung bagaimana rupa toko-toko di seputaran Pasar 45 yang sebelumnya tertutupi para PKL.

Tapi bukan karena penertiban oleh Imba yang membuat pamor Pasar 45 meredup. Kendati mungkin ada kaitan, namun bukan penyebab terbesar. Yang membuat Pasar 45 mulai tidak dilirik adalah menjamurnya sejumlah mall di seputaran boulevard.

Sebelum munculnya mall, pesaing Pasar 45 sebagai pusat perbelanjaan adalah Matahari, yang mengkombinasikan super market dengan  penjualan berbagai produk dalam satu atap, hanya dibedakan lantai. Kendati tidak terlalu signifikan, namun kehadiran Matahari sempat membuat pengunjung terbelah, kendati biasanya usai mendatangi Matahari (baik supermarket maupun departemen store), pengunjung selalu menyempatkan diri ke Pasar 45.

Munculnya Mega Mall dan kemudian Manado Town Square (Mantos) benar-benar menjadi pesaing serius bagi Pasar 45. Apalagi setelah sejumlah pusat perbelanjaan ikut membuka gerai di seputaran boulevard, termasuk IT Center. Pusat bisnis pun perlahan berubah kiblatnya ke kawasan boulevard.

Pasar 45 pada akhirnya menjadi alternatif yang tidak lagi diperhitungkan setelah kendaraan umum khas Manado, mikrolet tak lagi memasuki kawasan itu. Masyarakat, termasuk para ‘orang gunung’ memilih untuk singgah ke Mantos, atau Mega Mall atau kawasan sekitarnya jika ingin membeli sesuatu. Apalagi kendaraan umum memang melintas tepat di depan pusat perbelanjaan itu.

Kawasan boulevard menjadi tempat favorit masyarakat terutama anak muda karena merupakan perlambang dari modernitas. Sementara Pasar 45 dianggap sebagai perwakilan dari bisnis yang konvensional.

Akankah Pasar 45 kembali bangkit dan menjadi ikon bisnis Kota Manado? Waktu yang akan menjawabnya….

3 comments:

'dee said...

hahahahaha... aku saat berkunjung ke manado juga nyari2... dimana sih letak pasarnya?

dan 'dimana letak pasar' itu adalah kebingungan kedua tentang ini sebab sebelumnya saat menanyakan arah ada yang menunjuk 'ke sana, ikut saja arah 45'... dan setengah mati aku nyariin angkot yang bernomor 45, ngga ada... hihihihihi...

Calvin said...

hehehehe mantaf kawan ini tulisan .. jadi dapa inga doloe-doloe waktu masih ada "hoya" deng tampa barmaing di "president" ...memang skarang so pe sunyi kasiang .. tinggal pemkot noch mo kelola sampe itu jadi rame ulang ... salam kenal dari Blogger Manado, secara sama2 torang pake .info ^_^

Unknown said...

Aha, seharusnya orang Manado mengenal baik daerahnya sehingga tidak terjadi kejadian seperti diatas itu.. Adapun Pasar 45 itu memang benar-benar pasar, pasar Tradisional atau juga disebut pasar "basah". Saya tidak tahu pasti pasar itu dibuka semenjak kapan tetapi saya sendiri dulu sering di ajak Ibu untuk belanja di pasar ini dimana bangunan blok Ruko yang ada sekarang ini, itu dibangun akhir tahun 70-an (di pojoknya terkenal dengan "Time zone" jadul-nya bernama Hoya). Sebelumnya Blok ini berbentuk seperti dinding benteng Empat persegi dan di setiap sisinya terdapat pintu Besi sebagai pintu masuk-keluar dari/kedalam Pasar 45. Saya ingat persis setiap kali selesesai berbelanja ibu saya mengajak untuk makan di kios nasi kuning yang bernama "Sudi Mampir" yang terletak disisi sebelah barat berhadapan dengan (waktu itu) Night Club "LLC" (Lupa Lelah Club) yang sekarang ini adalah gedung pasar swalayan Jumbo. Seingat saya dahulu yang menguasai perdagangan pasar basah baik itu Pasar 45, Pasar Calaca, Pasar Pinasungkulan (Pal 2), Pasar Karombasan dan Pasar Kilat (Bahu) adalah orang-orang dari suku Minahasa dan Sangihe (Termasuk Oma saya pedagang beras, Opa pegawai kantor Pos dari tahun 1930-an). Jadi kalau ada orang dari luar Manado menanyakan tentang Pasar 45, jawablah bahwa Pasar 45 itu dulu memang ada.

.
.
Powered by Blogger.