Antara Obama dan Jokowi


Mei 2016. Dunia maya heboh dengan munculnya beberapa foto yang memperlihatkan Presiden Amerika Serikat   Barrack Obama sedang asik bersantap di sebuah warung makan sederhana di Hanoi Vietnam.

Pada Mei itu, Obama memang melakukan kunjungan kenegaraan selama tiga hari. Dan di sela-sela padatnya acara, Obama menempatkan diri bersantai menikmati sajian di warung makan.

Kunjungan Obama ke Vietnam memang bersejarah, karena lelaki berdarah Indonesia itu merupakan Presiden AS pertama yang berkunjung ke Vietnam sejak perang Vietnam usai pada 1975.

Kehebohan muncul karena seorang presiden negara adidaya terlihat menikmati santap siang di sebuah warung makan yang jauh dari kesan mewah, yang makan dengan sumpit dan membayar sendiri makanannya seharga 6 dolar AS, setara Rp 81.000.

Jika warga dunia heboh melihat Obama makan di warung, tak demikian halnya dengan Indonesia. Bagi penduduk Indonesia, hal seperti itu bukan berita baru yang luar biasa. Hal seperti itu sudah sering disaksikan warga Indonesia pada presidennya, Joko Widodo atawa Jokowi.

Jauh sebelum Obama bersantap di warung sederhana di Hanoi Vietnam, Jokowi sudah melakukannya. Tak hanya sekali, namun berkali-kali.

Jauh sebelum dipercaya rakyat menjadi presiden, Jokowi sudah sering bersantap di warung sederhana. Ketika menjabat Walikota Solo, secara berkala Jokowi mengunjungi warung soto dan sate yang menjadi langganan keluarganya. Ketika menjabat Gubernur DKI Jakarta, Jokowi beberapa kali mendatangi warung Tegal dan menyantap dengan nikmat menu yang disajikan.

Kebiasaan ini tak berubah begitu Jokowi diangkat menjadi  RI 1. Kunjungan ke warung di tepi jalan di berbagai daerah di Indonesia, baik yang direncanakan maupun dadakan, kerap dilakukan. Para anggota Paspampres yang bertugas sudah mengetahui kebiasaan  ini, dan sudah mengantisipasi kalau “ sang bos” sewaktu-waktu bisa berbelok ke lokasi yang “belum diamankan”.

Tipe Kepemimpinan
Perilaku Obama dan Jokowi yang tak sungkan makan di tepi jalan memperlihatkan bagaimana watak dan tipe kepemimpinan keduanya. Bahwa mereka merupakan pemimpin yang tetap menginjak bumi. Yang tidak memberi sekat dan batas dengan warga biasa. Yang tidak merasa sebagai pemimpin besar yang harus berada jauh di langit namun berbaur dan ikut merasakan denyut kehidupan masyarakat.

Kepemimpinan yang membumi bukan satu-satunya kesamaan Obama dan Jokowi. Ada beberapa metode dan tipe kepemimpinan Obama dan Jokowi yang, kebetulan atau tidak, memiliki banyak kesamaan.

a. Perubahan Pola Pikir
Ketika berkampanye untuk masa jabatan yang pertama, Obama memopulerkan jargon "Change we can believe in" dan "Yes We Can". Jargon yang sederhana namun sarat makna. Dengan jargon ini Obama menanamkan pola pikir positif ke masyarakat Amerika Serikat. Bahwa segala sesuatu mungkin, bahwa warga AS bisa menjadi bagian dari masa depan yang lebih cemerlang. Bahwa perubahan untuk menjadi lebih baik itu dimungkinkan jika masyarakat percaya bisa mewujudkannya.

Ketika berkampanye, salah satu jargon yang dipopulerkan Jokowi adalah Revolusi Mental. Jokowi menilai revolusi mental merupakan langkah awal untuk membuat Indonesia menjadi lebih hebat, lebih kuat dan sejahtera. Setelah menjadi presiden, Revolusi Mental  menjadi landasan program  para menteri di kabinet.

b. Program yang terencana
Ketika terpilih menjadi presiden, Obama dengan lugas memaparkan sejumlah program. Semua program dirancang dengan matang dan terencana. Mulai program ekonomi, kesehatan, militer hingga politik luar negeri.

Di Indonesia, hal serupa dilakukan Jokowi. Berpasangan dengan Jusuf Kalla, Jokowi merancang program yang disebut sebagai Nawa Cita, sembilan cita-cita yang akan diwujudkan selama masa pemerintahan Jokowi-JK.

Nawa Cita mencakup semua ruang lingkup kehidupan masyarakat, mulai dari pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, pengelolaan alam hingga pemberantasan korupsi.

c. Kepintaran taktis
Obama dikenal sebagai presiden yang pintar berstrategi. Dia punya kepintaran taktis yang mumpuni, terutama dalam merumuskan dan memutuskan berbagai kebijakan yang berdampak luas bagi masyarakat AS. Kepintaran taktis Obama, Presiden dari Partai Demokrat  diperlihatkan ketika dia menelurkan sejumlah program di bawah tekanan Kongres yang mayoritas dikuasai Partai Republik.

Di Indonesia, Jokowi juga memperlihatkan kepintaran taktis yang mumpuni. Berbagai keputusan politik dan kebijakan yang dibuatnya kerap membuat warga masyarakat, dan pengamat politik, tecengang karena sama sekali di luar perkiraan.

Jokowi berhasil mencairkan permusuhan politik antara partai pendukung pemerintah dengan ‘oposisi’. Bahkan belum dua tahun pemerintahan, parlemen yang awalnya dikuasai ‘oposisi’ kini berbalik arah dan mayoritas kini mendukung pemerintah.

Jokowi juga memperlihatkan kepintaran taktis pada isu yang nyaris memecah belah masyarakat, terutama penunjukan Kapolri. Pada Juni 2016, Jokowi membuat kejutan dengan memutuskan untuk memilih Komjen Tito Karnavian sebagai calon kapolri, kebijakan yang dinilai sebagai langkah cerdas dan strategis karena bisa mengakomodasi harapan publik, dan mencegah kontroversi seperti yang terjadi sebelumnya.

d. Jadi diri sendiri
Amerika Serikat memiliki banyak presiden hebat dan berkharisma. Namun Obama enggan menjadi bayang-bayang presiden sebelumnya. Dia ingin menjadi diri sendiri, dan berhasil mewujudkannya.

Begitu juga dengan Jokowi. Sekalipun sudah menjadi presiden, Jokowi tetap memperlihatkan kepada khalayak bahwa dia tidak berubah. Bahwa Jokowi tetap Jokowi. Jokowi tetap suka melucu, suka berimprovisasi ketika blusukan, namun konsisten dengan sikap.

Semasa awal menjabat, banyak pihak yang pesimis dengan independensi seorang Jokowi. Bahwa Jokowi diperkirakan akan disetir oleh petinggi partai.

Dengan halus, khas ‘wong Solo’, Jokowi berhasil memperlihatkan dan membuktikan bahwa sebagai presiden dia punya otoritas yang tak bisa diintervensi siapapun....


No comments:

.
.
Powered by Blogger.