Tak peduli lingkungan, kenapa harus dipilih?


(tulisan ini pernah dimuat di Koran Lestari, sisipan Harian Manado Post)

BENCANA kini menjadi kawan akrab masyarakat Sulut. Kerusakan lingkungan terjadi di mana-mana. Namun fakta ini ternyata belum cukup menarik bagi para calon anggota legislatif (caleg) di daerah ini.

Mekanisme pemilihan langsung memang ‘memaksa’ para caleg untuk menjual kharisma dan figur, disertai berbagai embel-embel tentang semboyan beserta apa yang akan dilakukan jika nantinya terpilih. Dan dari semua itu, isu lingkungan jarang (atau bahkan tidak pernah) disebut-sebut.

Fakta ini sangat mencengangkan. Bagaimana mungkin para caleg yang terhormat itu sama sekali tidak menganggap lingkungan sebagai hal penting yang harus diperjuangkan?
Karena sama sekali tak mengagendakan isu lingkungan, bisa dipastikan kalau para caleg ini tidak menganggarkan kegiatan terkait lingkungan dalam kampanye yang akan dilakukan. Dan pasti kita tak akan melihat berbagai gebrakan terkait lingkungan.

Tak heran jika akademisi Universitas Negeri Manado (Unima) Dr Treesje Londa dengan tegas mengimbau masyarakat untuk tidak memilih caleg yang tidak pro lingkungan. “Caleg yang tak pro lingkungan memang tak perlu dipilih. Pilihlah caleg yang benar-benar peduli pada lingkungan,” kata Treesje dalam round table discussion Yayasan Lestari belum lama ini.

Caleg yang sejak awal memperlihatkan kepedulian pada lingkungan, tambah Treesje, diharapkan akan mempertahankan idealismenya, karena tetap ada kemungkinan jika akhirnya terpilih sebagai legislator, sang caleg akan melupakan komitmennya pada lingkungan.

Pentingnya caleg mempertahankan idealismenya pada lingkungan juga diingatkan Boaz Wilar, akademisi Universitas Pembangunan Indonesia. Karena justru setelah menjadi legislator, di situlah tantangan yang sebenarnya. “Terutama soal anggaran, pengawasan dan regulasi. Karena di situlah justru letak permasalahannya,” kata Wilar.

Legislator pro lingkungan, lanjut Wilar, harus berani mempresur SKPD untuk memperbesar anggaran terkait lingkungan. Karena salah satu kendala yanag dihadapi saat ini adalah minimnya anggaran. “Jadi legislator pro lingkungan jangan hanya melakukan bargaining, tapi juga melakukan fungsi pengawasan, termasuk mengupayakan adanya peningkatan anggaran,” tegas Wilar.

Lalu bagaimana kriteria caleg yang pro lingkungan? Menurut Tinny Tawaang dari BLH Sulut, caleg yang pro lingkungan ditandai dengan adanya kepedulian dan semangat memperjuangkan persoalan lingkungan. Termasuk bisa melaksanakan pengawasan program terkait lingkungan, menampung aspirasi masyarakat dan disalurkan dalam kebijakan. “Action-nya dapat berupa penanaman bibit pohon bersama, dan dalam kesempatan kampanye, selalu menyuarakan persoalan lingkungan,” katanya.

LAKU DIJUAL?
Namun ungkapan menggelitik diungkap Rignolda Djamaluddin, aktivis Kelola. Yakni menyangkut efektivitas isu lingkungan dalam kampanye yang dilakukan para caleg. “Apakah isu lingkungan laku dijual? Karena lingkungan bukan persoalan kepedulian tapi keberpihakan dan tanggungjawab,” kata Rignolda.

Karena itu dia berpesan agar caleg atau partai yang mau mengusung isu lingkungan sebagai materi kampanye agar melakukan kajian, dengan mempertimbangkan lokasi dan daerah pemilihan. Isu lingkungan harus dikomunikasikan dengan baik agar oleh masyarakat dinilai sebagai hal yang sangat penting.

Ketua DPD Partai Hanura Sulut, Peter Poluan atau yang kerap disapa Hok Naga menegaskan, isu lingkungan merupakan faktor penting yang harus diusung caleg Hanura. “Jika tak komit pada lingkungan harus siap di-PAW,” katanya.

Kendati penting, menurut Poluan, isu lingkungan juga harus dilihat per wilayah atau daerah pemilihan (dapil). Karena tak semua dapil isu lingkungan ini menjadi urgen. (*)

No comments:

.
.
Powered by Blogger.