Kalau Saja Para Pejabat Lebih Peka...
Tulisan ini pernah dipublikasi di Koran Lestari edisi Mei yang dimuat di Harian Manado Post. Saat itu sedang heboh-hebohnya dengan kenaikkan BBM, sehingga Lestari mengambil tema itu....
SUATU siang di sebuah kawasan Sulawesi Utara. Tiga mobil mewah melaju kencang, diawali mobil bersirene. Semua jendela ditutup rapat dengan kaca ‘rayban’. Namun masyarakat sudah sangat hafal: itu mobil kepala daerah. Warga juga sudah tahu, kalau iringan kendaraan ini sebenarnya hanya untuk mengantar satu orang, yakni yang mulia kepala daerah.
Ketika krisis BBM menjadi isu yang kemudian berubah menjadi realita pahit, iring-iringan mobil kepala daerah ini menjadi pemandangan yang sangat kontradiktif: ketika harga BBM melonjak, sejumlah pihak (baca: pejabat) justru mempertontonkan ketidakarifan yakni memakai kendaraan berlebihan yang boros BBM.
Dalam pemberitaan terkait krisis BBM di sejumlah media massa selama bulan Mei, diberi kesan bahwa pemerintah hanya punya dua pilihan. Yakni mempertahankan subsidi, atau menaikkan harga BBM. Padahal, ada satu pilihan logis yang bisa menjadi alternatif, yakni efisiensi penggunaan anggaran rutin negara.
Tapi seperti yang kita bisa saksikan setiap hati, para pejabat, baik tingkat pusat mau pun daerah, rupanya memang sukar untuk berhemat. Iring-iringan kendaraan misalnya. Mungkin si pejabat merasa tidak nyaman jika ke kantor tidak diiringi mobil bersirene dan satu mobil berisi pengawal.
Kalau toh ada upaya penghematan, itu tidak lebih pada ’akting’, guna memancing simpati. Seperti pejabat di Sulut dan Manado yang naik bendi ketika ’hari tanpa kendaraan bermotor’ belum lama ini. Untuk momen yang sama ada pejabat yang naik ojek (mungkin si pejabat mengira yang dimaksud kendaraan bermotor hanya mobil. Dia lupa kalau sepeda motor, sesuai namanya juga menggunakan motor).
Pada akhirnya, memang dibutuhkan kearifan dan kepekaan dari para pejabat. Paling tidak untuk memulai kampanye soal penghematan, baik penghematan anggaran maupun hemat BBM. Kampanye ini tentu saja harus dibarengi tindakan nyata.
Sebagai langkah awal, pejabat harus membiasakan diri bepergian tanpa diiringi kendaraan lain yang boros BBM. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah pejabat di Sulut mau? (*)
SUATU siang di sebuah kawasan Sulawesi Utara. Tiga mobil mewah melaju kencang, diawali mobil bersirene. Semua jendela ditutup rapat dengan kaca ‘rayban’. Namun masyarakat sudah sangat hafal: itu mobil kepala daerah. Warga juga sudah tahu, kalau iringan kendaraan ini sebenarnya hanya untuk mengantar satu orang, yakni yang mulia kepala daerah.
Ketika krisis BBM menjadi isu yang kemudian berubah menjadi realita pahit, iring-iringan mobil kepala daerah ini menjadi pemandangan yang sangat kontradiktif: ketika harga BBM melonjak, sejumlah pihak (baca: pejabat) justru mempertontonkan ketidakarifan yakni memakai kendaraan berlebihan yang boros BBM.
Dalam pemberitaan terkait krisis BBM di sejumlah media massa selama bulan Mei, diberi kesan bahwa pemerintah hanya punya dua pilihan. Yakni mempertahankan subsidi, atau menaikkan harga BBM. Padahal, ada satu pilihan logis yang bisa menjadi alternatif, yakni efisiensi penggunaan anggaran rutin negara.
Tapi seperti yang kita bisa saksikan setiap hati, para pejabat, baik tingkat pusat mau pun daerah, rupanya memang sukar untuk berhemat. Iring-iringan kendaraan misalnya. Mungkin si pejabat merasa tidak nyaman jika ke kantor tidak diiringi mobil bersirene dan satu mobil berisi pengawal.
Kalau toh ada upaya penghematan, itu tidak lebih pada ’akting’, guna memancing simpati. Seperti pejabat di Sulut dan Manado yang naik bendi ketika ’hari tanpa kendaraan bermotor’ belum lama ini. Untuk momen yang sama ada pejabat yang naik ojek (mungkin si pejabat mengira yang dimaksud kendaraan bermotor hanya mobil. Dia lupa kalau sepeda motor, sesuai namanya juga menggunakan motor).
Pada akhirnya, memang dibutuhkan kearifan dan kepekaan dari para pejabat. Paling tidak untuk memulai kampanye soal penghematan, baik penghematan anggaran maupun hemat BBM. Kampanye ini tentu saja harus dibarengi tindakan nyata.
Sebagai langkah awal, pejabat harus membiasakan diri bepergian tanpa diiringi kendaraan lain yang boros BBM. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah pejabat di Sulut mau? (*)
No comments:
Post a Comment