Tana Goyang Bukang Kacang Goyang
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Telegram (alm) dan kemudian Tabloid Mimbar (sempat mati suri dan sekarang sudah terbit lagi). Tulisan ini di-rewrite setelah terjadi gempa bumi dahsyat awal tahun 2007 lalu....
BEBERAPA pekan terakhir ini, wilayah Sulut dan juga Minahasa kerap diterpa gempa bumi (atau tana goyang menurut istilah Malayu Manado). Toh bergoyangnya tanah tidak lagi membuat warga panik. Setelahmengalami tana goyang terkuat, Minggu 21 Januari lalu, getaran bumiyang hampir terjadi setiap hari kini terasa 'biasa-biasa'.
Tana goyang yang terjadi 21 Januari itu memang luar biasa. Ada yangmengatakan ini gempa terkuat di Sulut selang 40 tahun terakhir. Suasana bertambah mencekam menyusul berbagai histeria massal karena isu adanya tsunami.
Lalu apa hubungan antara kacang goyang dengan tana goyang? Jawaban setengah bergurau adalah, hubungan keduanya baik-baik saja, kendati yang menghubungkan mereka hanya kata 'goyang'.
Anda yang tinggal di Minahasa pasti tahu, kacang goyang adalah kue khas Minahasa yang tercipta akibat 'aksi goyang'. Sejumlah kacang dimasukkan ke dalam wadah tertutup, kemudian dicampur dengan gula. Si pembuat biasanya menggoyang-goyangkan wadah berisi kacang dan gula ini. 'Efek tsunami' akibat goyangan ini menyebabkan gula akan membungkus kacang. Dan jadilah kue kacang goyang.
Sejauh ini, tidak ada catatan kapan persisnya kacang goyang pertama kali ada di Minahasa, siapa yang pertama kali punya resep, dan di daerah mana yang pertama kali mengadakannya. Yang jelas, kacang goyang relatif dikenal semua kawasan di Minahasa.
Sama halnya dengan kacang goyang, masyarakat Minahasa juga sudah lama bergaul erat dengan tana goyang. Bahkan fenomena terguncangnya tanah ini sudah coba dijelaskan leluhur Minahasa, sejak ratusan tahun lalu.
Konon, menurut legenda, tana goyang (atau pengero' menurut lidah orang Tondano), tercipta ketika hewan babi berukuran raksasa peliharaan Opo Makawalang menggosok-gosokkan tubuhnya ke sejumlah tiang penyangga bumi. Makawalang, menurut sahibul hikayat, adalah opo yang menguasai dunia bawah tanah (daerah kematian atau kaengkolan).
Karena itu, dulu, masyarakat Minahasa biasanya suka 'heboh' dan membunyikan berbagai bunyi-bunyian jika terjadi gempa bumi. Mereka berharap, bunyi-bunyian yang memekakkan telinga akan membuat babi peliharaan Opo Makawalang menghentikan aksinya. (Menurut legenda, salah satu tiang penyangga bumi berada tepat di bawah kawasan Remboken. Itu sebabnya sehingga orang Remboken jarang sekali merasakan gempa bumi atau tana goyang. Percaya atau tidak, terserah).
Dewasa ini, ilmu pengetahuan modern tentu saja telah membuktikan kalau tana goyang tidak disebabkan oleh ulah babi peliharaan Opo Makawalang. Ilmu pengetahuan modern juga telah menyepakati kalau tana goyang atau gempa bumi, adalah jenis bencana yang sukar diantisipasi. Orang bisa saja meminimalkan terjadinya kebakaran, atau mencegah kemungkinan terjadinya bencana banjir. Namun untuk meminimalkan tana goyang? Siapa mampu menahan jika bumi hendak 'bergoyang Inul'?
Apalagi jika gempa ini terjadi di dasar laut, yang dampak susulannya berupa gelombang pasang yang kemudian menyapu daratan, seperti yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara dan Yogyakarta beberapa waktu lalu.
Munculnya tanah goyang, ditambah beraneka bencana alam yang menimpa saudara kita di berbagai wilayah Indonesia menimbulkan berbagai pertanyaan. Kenapa Tuhan 'mengijinkan' terjadinya peristiwa memilukan ini?
Sebagai manusia, tentu saja kita tidak dapat menerka apa maksud Tuhan. Yang bisa kita lakukan, adalah mengambil hikmah dari peristiwa ini. Pertama, bahwa bagaimana pun kemahakuasaan manusia, itu hanya seujung kuku kemahakuasaan Tuhan. Bahwa manusia memang tidak dapat berbuat apa-apa jika alam menunjukkan kemarahannya.
Kedua, bencana bisa terjadi kapan saja dan bisa menimpa siapa saja, temasuk kita yang bermukim di Sulut.
Karena itu, pembaca, jika saat ini Anda sedang menikmati gurihnya kacang goyang, atau bisa mengenang manisnya kacang bersalut gula, mohon diingat, kenikmatan itu terasa karena tanah tidak bergoyang.
Anda tak akan bisa mencicipi kacang goyang jika terjadi tana goyang. Karena tana goyang bukang kacang goyang.(*)
BEBERAPA pekan terakhir ini, wilayah Sulut dan juga Minahasa kerap diterpa gempa bumi (atau tana goyang menurut istilah Malayu Manado). Toh bergoyangnya tanah tidak lagi membuat warga panik. Setelahmengalami tana goyang terkuat, Minggu 21 Januari lalu, getaran bumiyang hampir terjadi setiap hari kini terasa 'biasa-biasa'.
Tana goyang yang terjadi 21 Januari itu memang luar biasa. Ada yangmengatakan ini gempa terkuat di Sulut selang 40 tahun terakhir. Suasana bertambah mencekam menyusul berbagai histeria massal karena isu adanya tsunami.
Lalu apa hubungan antara kacang goyang dengan tana goyang? Jawaban setengah bergurau adalah, hubungan keduanya baik-baik saja, kendati yang menghubungkan mereka hanya kata 'goyang'.
Anda yang tinggal di Minahasa pasti tahu, kacang goyang adalah kue khas Minahasa yang tercipta akibat 'aksi goyang'. Sejumlah kacang dimasukkan ke dalam wadah tertutup, kemudian dicampur dengan gula. Si pembuat biasanya menggoyang-goyangkan wadah berisi kacang dan gula ini. 'Efek tsunami' akibat goyangan ini menyebabkan gula akan membungkus kacang. Dan jadilah kue kacang goyang.
Sejauh ini, tidak ada catatan kapan persisnya kacang goyang pertama kali ada di Minahasa, siapa yang pertama kali punya resep, dan di daerah mana yang pertama kali mengadakannya. Yang jelas, kacang goyang relatif dikenal semua kawasan di Minahasa.
Sama halnya dengan kacang goyang, masyarakat Minahasa juga sudah lama bergaul erat dengan tana goyang. Bahkan fenomena terguncangnya tanah ini sudah coba dijelaskan leluhur Minahasa, sejak ratusan tahun lalu.
Konon, menurut legenda, tana goyang (atau pengero' menurut lidah orang Tondano), tercipta ketika hewan babi berukuran raksasa peliharaan Opo Makawalang menggosok-gosokkan tubuhnya ke sejumlah tiang penyangga bumi. Makawalang, menurut sahibul hikayat, adalah opo yang menguasai dunia bawah tanah (daerah kematian atau kaengkolan).
Karena itu, dulu, masyarakat Minahasa biasanya suka 'heboh' dan membunyikan berbagai bunyi-bunyian jika terjadi gempa bumi. Mereka berharap, bunyi-bunyian yang memekakkan telinga akan membuat babi peliharaan Opo Makawalang menghentikan aksinya. (Menurut legenda, salah satu tiang penyangga bumi berada tepat di bawah kawasan Remboken. Itu sebabnya sehingga orang Remboken jarang sekali merasakan gempa bumi atau tana goyang. Percaya atau tidak, terserah).
Dewasa ini, ilmu pengetahuan modern tentu saja telah membuktikan kalau tana goyang tidak disebabkan oleh ulah babi peliharaan Opo Makawalang. Ilmu pengetahuan modern juga telah menyepakati kalau tana goyang atau gempa bumi, adalah jenis bencana yang sukar diantisipasi. Orang bisa saja meminimalkan terjadinya kebakaran, atau mencegah kemungkinan terjadinya bencana banjir. Namun untuk meminimalkan tana goyang? Siapa mampu menahan jika bumi hendak 'bergoyang Inul'?
Apalagi jika gempa ini terjadi di dasar laut, yang dampak susulannya berupa gelombang pasang yang kemudian menyapu daratan, seperti yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara dan Yogyakarta beberapa waktu lalu.
Munculnya tanah goyang, ditambah beraneka bencana alam yang menimpa saudara kita di berbagai wilayah Indonesia menimbulkan berbagai pertanyaan. Kenapa Tuhan 'mengijinkan' terjadinya peristiwa memilukan ini?
Sebagai manusia, tentu saja kita tidak dapat menerka apa maksud Tuhan. Yang bisa kita lakukan, adalah mengambil hikmah dari peristiwa ini. Pertama, bahwa bagaimana pun kemahakuasaan manusia, itu hanya seujung kuku kemahakuasaan Tuhan. Bahwa manusia memang tidak dapat berbuat apa-apa jika alam menunjukkan kemarahannya.
Kedua, bencana bisa terjadi kapan saja dan bisa menimpa siapa saja, temasuk kita yang bermukim di Sulut.
Karena itu, pembaca, jika saat ini Anda sedang menikmati gurihnya kacang goyang, atau bisa mengenang manisnya kacang bersalut gula, mohon diingat, kenikmatan itu terasa karena tanah tidak bergoyang.
Anda tak akan bisa mencicipi kacang goyang jika terjadi tana goyang. Karena tana goyang bukang kacang goyang.(*)
No comments:
Post a Comment