Pake cidako, tolu, loto....
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Telegraf dan tabloid Mimbar Bersama, disarikan dari tulisan N Graafland
PAKAIAN seperti apa yang digunakan masyarakat Minahasa ratusan tahun yang lalu? Jenis mode seperti apa yang ‘trend’ waktu itu?
N Graafland, pendeta dari Belanda yang bertahun-tahun tinggal di Minahasa mencatat, di pertengahan tahun 1800-an, masyarakat Minahasa sudah ada yang mengenakan sarung dan kebaya. Sebagian hanya mengenakan sarung yang diikatkan di atas dada.
Sebagian laki-laki lebih suka bertelanjang dada. Dan hanya mengenakan kain penutup, yang waktu itu populer dengan sebutan cidako. Yang terbuat dari kulit pohon, kain linen biru, atau belacu dengan gambar mencolok. Namun sebagian besar laki-laki Minahasa sudah mengenakan baju untuk bagian atas, dan tetap memakai cidako untuk bagian bawah. Sebagian yang lain memakai rumbai-rumbai.
Karena pengaruh ‘modernisasi’ Belanda, sudah cukup banyak masyarakat yang mengenakan celana, apalagi di jalanan. Dan hanya sedikit yang memakai sarung.
Generasi yang lebih muda, biasanya lebih cepat mengikuti trend mode yang up to date. Mereka sudah mengenakan pakaian lengkap, dengan standar Eropa.
Penutup kepala
Kebanyakan masyarakat Minahasa, memakai tolu sebagai penutup kepala. Tolu, adalah topi datar dengan tepi yang sangat lebar, dan runcing di bagian tengah. Sehingga dapat berfungsi seperti payung, yang cocok untuk menyalurkan air hujan.Umumnya tolu terbuat dari daun silar, sejenis palem Kipas yang menjulang tinggi. Tolu biasanya diwarnai dengan getah akar suatu pohon, yang dimasak terlebih dahulu.
Selain dari daun silar, ada juga tolu yang dibuat dari batang padi. Jika terkena matahari, warna kuning emas tolu ini terlihat mengkilap. Kendati memakai tolu merupakan kebiasaan, namun tutup kepala ini tidak dipakai jika masyarakat sedang menjunjung sesuatu di kepala. Waktu itu, masyarakat Minahasa, khususnya wanita, terbiasa menjunjung beras, sayur dan buah-buahan dengan loto (bakul) di atas kepala.
Graafland sempat terheran-heran melihat wanita Minahasa menjunjung sesuatu di atas kepala, tanpa memegangnya. “Mereka terlatih menjaga keseimbangan beban. Bahkan botol pun tidak akan jatuh dari kepala wanita itu. Kalau kami harus melakukannya, sebelum tiga langkah, botol minyak itu pasti sudah jatuh,” tulis Graafland.
Biasanya orang Minahasa menjunjung sesuatu untuk dijual. Hasil pertanian, dibawa (dijunjung) untuk dijual ke Manado, pasar, atau langganan tetap. Waktu itu, orang Minahasa sudah lazim bertani sayur dan buah-buahan. Serta memelihara ayam.
Ada hal menarik menyangkut kebiasaan berjalan sebagian masyarakat Minahasa. Orang Minahasa biasa berjalan—yang menurut istilah Graafland—‘beriringan seperti angsa’. Seorang berjalan di belakang yang lain. Dan sangat jarang ada dua orang yang berjalan berdampingan. Diduga, cara berjalan seperti ini menjadi kebiasaan, karena di Minahasa hanya ada jalan-jalan sempit dan kecil, yang lazim disebut ‘jalan kebun’ atau ‘jalan anjing’. (*)
PAKAIAN seperti apa yang digunakan masyarakat Minahasa ratusan tahun yang lalu? Jenis mode seperti apa yang ‘trend’ waktu itu?
N Graafland, pendeta dari Belanda yang bertahun-tahun tinggal di Minahasa mencatat, di pertengahan tahun 1800-an, masyarakat Minahasa sudah ada yang mengenakan sarung dan kebaya. Sebagian hanya mengenakan sarung yang diikatkan di atas dada.
Sebagian laki-laki lebih suka bertelanjang dada. Dan hanya mengenakan kain penutup, yang waktu itu populer dengan sebutan cidako. Yang terbuat dari kulit pohon, kain linen biru, atau belacu dengan gambar mencolok. Namun sebagian besar laki-laki Minahasa sudah mengenakan baju untuk bagian atas, dan tetap memakai cidako untuk bagian bawah. Sebagian yang lain memakai rumbai-rumbai.
Karena pengaruh ‘modernisasi’ Belanda, sudah cukup banyak masyarakat yang mengenakan celana, apalagi di jalanan. Dan hanya sedikit yang memakai sarung.
Generasi yang lebih muda, biasanya lebih cepat mengikuti trend mode yang up to date. Mereka sudah mengenakan pakaian lengkap, dengan standar Eropa.
Penutup kepala
Kebanyakan masyarakat Minahasa, memakai tolu sebagai penutup kepala. Tolu, adalah topi datar dengan tepi yang sangat lebar, dan runcing di bagian tengah. Sehingga dapat berfungsi seperti payung, yang cocok untuk menyalurkan air hujan.Umumnya tolu terbuat dari daun silar, sejenis palem Kipas yang menjulang tinggi. Tolu biasanya diwarnai dengan getah akar suatu pohon, yang dimasak terlebih dahulu.
Selain dari daun silar, ada juga tolu yang dibuat dari batang padi. Jika terkena matahari, warna kuning emas tolu ini terlihat mengkilap. Kendati memakai tolu merupakan kebiasaan, namun tutup kepala ini tidak dipakai jika masyarakat sedang menjunjung sesuatu di kepala. Waktu itu, masyarakat Minahasa, khususnya wanita, terbiasa menjunjung beras, sayur dan buah-buahan dengan loto (bakul) di atas kepala.
Graafland sempat terheran-heran melihat wanita Minahasa menjunjung sesuatu di atas kepala, tanpa memegangnya. “Mereka terlatih menjaga keseimbangan beban. Bahkan botol pun tidak akan jatuh dari kepala wanita itu. Kalau kami harus melakukannya, sebelum tiga langkah, botol minyak itu pasti sudah jatuh,” tulis Graafland.
Biasanya orang Minahasa menjunjung sesuatu untuk dijual. Hasil pertanian, dibawa (dijunjung) untuk dijual ke Manado, pasar, atau langganan tetap. Waktu itu, orang Minahasa sudah lazim bertani sayur dan buah-buahan. Serta memelihara ayam.
Ada hal menarik menyangkut kebiasaan berjalan sebagian masyarakat Minahasa. Orang Minahasa biasa berjalan—yang menurut istilah Graafland—‘beriringan seperti angsa’. Seorang berjalan di belakang yang lain. Dan sangat jarang ada dua orang yang berjalan berdampingan. Diduga, cara berjalan seperti ini menjadi kebiasaan, karena di Minahasa hanya ada jalan-jalan sempit dan kecil, yang lazim disebut ‘jalan kebun’ atau ‘jalan anjing’. (*)
No comments:
Post a Comment