Busana, Budaya dan Batik Minahasa
BAGI masyarakat Minahasa, busana merupakan bagian yang tak terpisahkan dari budaya. Perkembangan
busana secara langsung memperlihatkan bagaimana budaya Minahasa berkembang.
(Yang dimaksud Minahasa dalam tulisan ini adalah Minahasa secara budaya yang di
era saat ini mencakup Kabupaten Minahasa, Kota Bitung, Kota Manado, Kabupaten
Minahasa Utara, Kota Tomohon, Kabupaten Minahasa Selatan dan Kabupaten Minahasa
Tenggara, dan bukan secara wilayah administratif pemerintahan).
Gubernur VOC Belanda di Maluku Robertus Padtbrugge
yang pernah mendatangi Minahasa pada 25 Desember 1678 hingga 23 Januari 1679
mencatat, pakaian orang Minahasa nampak seperti pakaian orang Cina, kemeja
tangan panjang dan tanpa leher (kraag). Sedangkan untuk celana, orang Minahasa
saat itu menenakan celana ¾ panjang.
Para waraney asal Tondano Minahasa dengan pakaian tradisional. Foto diambil tahun 1915 (KITLV Photograph) |
Sementara N Graafland, pendeta dari Belanda yang
bertahun-tahun tinggal di Minahasa mencatat, di pertengahan tahun 1800-an,
masyarakat Minahasa sudah ada yang mengenakan sarung dan kebaya. Sebagian hanya
mengenakan sarung yang diikatkan di atas dada.
Sebagian laki-laki, menurut pengamatan Graafland,
lebih suka bertelanjang dada. Laki-laki Minahasa yang bertelanjang dada hanya
mengenakan kain penutup, yang waktu itu populer dengan sebutan cidako. Cidako terbuat
dari kulit pohon, kain linen biru, atau belacu dengan gambar mencolok.
Namun sebagian besar laki-laki Minahasa, menurut
Graafland sudah mengenakan baju untuk bagian atas, dan tetap memakai cidako
untuk bagian bawah. Sebagian yang lain memakai rumbai-rumbai.
Pakaian tradisional
petani Minahasa. Foto diambil tahun 1890 (KITLV Photograph)
|
Karena pengaruh ‘modernisasi’ Belanda, sudah cukup
banyak masyarakat yang mengenakan celana, apalagi di jalanan. Dan hanya sedikit
yang memakai sarung.
Generasi yang lebih muda, biasanya lebih cepat
mengikuti tren mode yang up to date. Mereka sudah mengenakan pakaian lengkap,
dengan standar Eropa.
Sumber lain menyebut, busana sehari-hari perempuan Minahasa
berupa kebaya, yang menurut istilah tradisional disebut wuyang. Dulu, wuyang
dibuat dari kulit kayu. Untuk blus atau gaun bahannya dibuat dari tenun.
Sedangkan kaum pria memakai Karai, baju tanpa lengan
berbentuk lurus berwarna hitam yang terbuat dari ijuk. Versi lain dari pakaian
pria yakni lengan panjang, memakai krah dan saku. Baju seperti ini disebut Baniang.
Sementara untuk celana biasanya berbentuk celana pendek hingga celana panjang yang
mirip piyama.
Pergaulan warga Minahasa dengan pedagang asing dari
Tiongkok dan Eropa turut memengaruhi pola berbusana. Pada perempuan, busana
yang dipengaruhi Spanyol terlihat pada baju kebaya lengan panjang dengan rok
yang bervariasi. Sedangkan pengaruh Tiongkok nampak pada kebaya warna putih
dengan kain batik Tiongkok bermotif burung dan bunga-bungaan.
Gadis
Minahasa mengenakan busana yang dipengaruhi Eropa (KITLV Photograph)
|
Pada busana pria pengaruh Tiongkok tidak begitu
tampak. Busana pria yang dipengaruhi Spanyol adalah baju lengan panjang (Baniang)
yang modelnya berubah menyerupai jas tutup dengan celana panjang. Umumnya bahan
pakaian di masa itu terbuat dari kain blacu berwarna putih.
Dibuat
sendiri
Busana warga Minahasa tempo doeloe biasanya dibuat
sendiri. Kain didapatkan setelah ditenun. Untuk serat diambil dari batang
pisang hutan (Pisang Yaki) dan nenas. Serat pisang dan nenas ini ditenun
menjadi kain Koffo. Ada juga yang mengambil bahan dasar serat dari kulit kayu
pohon Lahendong dan Sawukouw yang hasilnya disebut Fuya. Ada juga masyarakat
Minahasa yang mengambil serat dari bambu, yang hasilnya disebut Wa’u. Sejumlah
ahli menduga, masyarakat Minahasa mulai menenun kainnya sendiri sejak abad
ke-7.
Para
Tonaas dengan pakaian tradisional Minahasa (KITLV Photograph)
|
Untuk peralatan tenun biasanya dibuat sendiri. Alat
menenun kain dinamakan Mangaiwu. Alat pembongkar kapas disebut Papitik yang
berbentuk busur panah. Alat pemutar serat untuk dibentuk menjadi benang disebut
Wawilingan. Alat tempat menggulung benang untuk ditenun disebut Kasilian, dan
kayu tempat mengikat benang-benang untuk ditenun dinamakan Wawalukan.
Selain digunakan sendiri, pembuatan kain tenun khas
Minahasa sempat menjadi bisnis yang menggiurkan. Di tahun 1770-an, bisnis kerajinan
membuat kain tenun sangat menguntungkan rakyat Minahasa. Konsumen utama adalah
Belanda yang membeli dengan harga cukup lumayan. Keuntungan para pengrajin kain
tenun semakin besar karena saat itu mereka mulai menggunakan serat dari kapas.
Warga Minahasa menanam kapas di hutan dan digunakan sebagai bahan dasar untuk
menenun..
Saat itu, kerajinan kain tenun bisa didapat di
berbagai wilayah Minahasa. Mulai dari Tondano, Tomohon, Langowan, Tonsea hingga
Bentenan. (Kelak, semua kain tenun asli Minahasa itu secara salah kaprah
disebut sebagai Kain Bentenan).
Omset perdagangan kain tenun dalam satu tahun di
era itu mencapai 100.000 gulden. VOC yang menjadi pembeli utama bahkan menjual
kain tenun Minahasa hingga ke Maluku.
Industri kain tenun Minahasa mengalami kemunduran
drastis di sekitar tahun 1880-an, ketika warga Minahasa lebih suka mengenakan
pakaian khas Eropa. Busana Minahasa dengan kain tenun mulai dianggap ketinggalan
jaman.
Kerajinan tenun Minahasa perlahan mulai lenyap
setelah masuknya kain halus serta pakaian jadi yang datang dari berbagai
negara. Masuknya kain halus disertai dengan pengenalan mesin jahit. Saat itu,
ada ribuan mesin jahit yang memasuki Minahasa. Masuknya kain dan mesin jahit
memunculkan bisnis baru. Banyak warga Minahasa yang menjadi penjual pakaian.
Ada juga yang menjadi penjahit.
Pakaian kulit kayu Lahendong hanya digunakan petani
bila pergi bekerja ke ladang. Kain tenun hanya digunakan saat acara pesta atau
pada ritual keagamaan..
Tahun 1825, di negeri Kakas sudah ada boutique
tempat membeli atau menyewa busana Eropa: celana, kemeja, jas dan pakaian
wanita. Tahun 1830 semua Hukum Besar, Hukum Kedua dan Hukum Tua sudah memakai
jas hitam leher tinggi.
Sekitar tahun 1920-an, penulis Barat bernama Walter
B. Harris menggambarkan busana orang Minahasa sebagai, “...Kaum pria memakai
kemeja putih dan semacam topi Eropa. Ibu-ibu memakai kebaya warna hitam atau
biru dan memakai kain sarung batik atau kain tenun warna gelap. Anak gadisnya
memakai rok dan blus yang disambung menjadi satu...”
Dari paparan Walter B. Harris nampak bahwa “kain
sarung batik” telah menjadi busana umum yang digunakan ibu-ibu Minahasa di era
’20-an.
Perempuan
Minahasa dengan kebaya dan sarung (batik). Foto diambil tahun 1900 (KITLV
Photograph)
|
Teknik Batik khas Minahasa diduga mulai dikembangkan
sejak masuknya kain polos dari luar. Saat itu, sejumlah warga Minahasa mulai
menambahkan motif tertentu pada kain yang polos. Sebagai pewarna, warga umumnya
menggunakan bahan dari tanaman liar yang ditemukan di sekitar.
Misalnya ada yang menggunakan semak Lenu (Morinda citrifolia
var. bracteata) untuk menciptakan warna kuning. Warna kuning akan berubah menjadi
merah jika dicampur air kapur sirih.
Untuk menghasilkan warna merah warga menggunakan Lelenu
(Peristrophe tinctoria Nees). Sedangkan warna hitam dihasilkan dari kulit Sangket
(Homalanthus populifolius). Sementara warna hijau dan biru didapat dari Tium,
sejenis tanaman merambat.
Tentu saja, saat itu membuat ‘Batik’ ala Minahasa,
yakni menambahkan motif tertentu pada kain polos, masih
berupa ‘pekerjaan iseng’ dan hasilnya hanya digunakan untuk keperluan
sendiri. ‘Membatik’ ala Minahasa juga tidak menggunakan malam atau lilin. Pekerjaan
membatik juga tidak menjadi budaya secara keseluruhan karena hanya dikerjakan
secara sporadis. Itu sebabnya, tidak ada catatan resmi bahwa Batik pernah
dikenal di Minahasa.
Perkenalan
warga Minahasa (atau Sulawesi Utara pada umumnya) pada batik dimulai tahun
’70-an hingga ’80-an. Saat itu pemerintah Orde Baru mengeluarkan peraturan,
semua pegawai negeri sipil harus mengenakan Seragam Korpri yang bermotif batik.
Batik motif Korpri di era Orde Baru
|
Di era ’90-an, busana batik dengan berbagai warna
dan motif mulai muncul di acara resmi, seperti perkawinan. Saat itu rata-rata
pengguna batik adalah warga non Sulawesi Utara (Sulut). Belakangan, warga Sulut
mulai banyak yang melirik Batik. Selain di acara resmi termasuk pernikahan,
batik mulai dipakai di gereja, terutama ketika Natal dan Tahun Baru.
Kini, batik menjadi motif busana alternatif yang
cukup disukai warga Sulut. Rata-rata lelaki dewasa di Sulut setidaknya punya
satu stel pakaian batik. Saat Natal dan Tahun Baru, banyak keluarga di Sulut
yang mengenakan batik. Tak hanya suami dana istri, namun juga anak-anak.
Sayang, sebagian besar motif batik yang dikenakan
warga Sulut itu berasal dari Pulau Jawa... <>
1 comment:
Thanks for sharing the best information and suggestions, it is very nice and very useful to us. I appreciate the work that you have shared in this post. Keep sharing these types of articles here.
Best Cheap Guns
Post a Comment