Alasan Pertama Kenapa Minahasa Bukan Keturunan Penguasa Dinasti Han



(Pada 2018 lalu, terbit sebuah buku berjudul “Penguasa Dinasti Han Leluhur Minahasa” yang ditulis pak Weliam Boseke. Buku ini kemudian menimbulkan pro dan kontra di kalangan pemerhati budaya Minahasa.

Saya termasuk yang meragukan kebenaran teori yang digagas pak Boseke ini. Setelah mempelajari buku itu, saya menemukan sangat banyak kejanggalan dan keanehan. Saya kemudian memutuskan untuk membuat buku bantahan, dengan judul (sementara) “9 Alasan Kenapa Minahasa Bukan Keturunan Penguasa Dinasti Han”.

Tulisan ini merupakan cuplikan dari salah satu bab dalam buku ityu. Karena hanya merupakan cuplikan, maka tentu tidak lengkap. Bagian lengkapnya bisa dibaca dalam buku yang rencananya akan terbit dalam format digital. Cekidottt...)


Soal Bahasa Minahasa

BAHASA merupakan komponen utama yang dijadikan ukuran terkait teori bahwa orang Minahasa merupakan keturunan penguasa Dinasti Han. Karena itu, pemahaman pada Bahasa Minahasa (Tontemboan, Tombulu, Tonsea serta Toulour), beserta tata bahasanya, sangat penting. Jika pemahaman pada Bahasa Minahasa sangat kurang, yang terjadi adalah pemaksaan atau pencocokan untuk hal-hal yang sebenarnya tidak cocok.

Pada buku “Penguasa Dinasti Han Leluhur Minahasa” yang ditulis pak Weliam Boseke, ada banyak hal terutama soal Bahasa yang terkesan dipaksakan. Bahkan untuk hal-hal yang sebenarnya sederhana, dibuat menjadi rumit. Dan itu terjadi karena pemahaman pada tata Bahasa Minahasa, terutama seputar pemakaian imbuhan, awalan dan akhiran serta kata dasar, yang sangat rendah.
Contohnya soal istilah Tondano. Menurut pak Weliam Boseke, kata Tondano berasal dari Bahasa Han, Tong Dao Na, yang artinya: anak-anak bocah sampai ke sana.

Padahal, kata Tondano berasal dari kata Tou dan Dano. Tou dalam Bahasa Minahasa artinya manusia. Dano atau Rano artinya air. Jadi Tondano adalah istilah untuk menyebut orang-orang yang menetap di air. Dalam hal ini danau Tondano.

Dulu, warga Tondano (atau Walak Toulour) bermukim di permukaan danau Tondano, di bagian tepi. Ketika terjadi perang Tondano, warga Tondano menghadapi serangan Belanda dari rumah-rumah yang dibangun di atas permukaan danau Tondano. Setelah pasukan Tondano kalah, pemukiman di permukaan danau dibakar Belanda. Warga Tondano yang tersisa akhirnya membangun perkampungan baru di daratan yang sekarang merupakan bagian dari Kota Tondano.

Jadi Tondano artinya “orang air”. Semua orang Tondano akan tertawa jika disebut kalau Tondano itu artinya “anak-anak sampai ke sana”.

Begitu juga dengan istilah Toulour. Menurut pak Boseke, Toulour (pak Boseke menyebutnya Tolour), berasal dari Bahasa Han, Tou Lau Wu Er, yang artinya “tunas dari anak-anak veteran (maksudnya pasukan Dinasti Shu)”.

Padahal, Toulour berasal dari kata tou dan lour. Tou artinya manusia, dan lour artinya air besar. Orang Tondano biasa menyebut lautan dan danau sebagai lour. Tou lour artinya “orang yang menetap di air besar, atau danau”.

Di Minahasa, sangat lazim menamai sebuah wilayah dengan awalan kata “tou”. Selain sebagai penanda identitas juga sebagai petunjuk asal. Kata Tompaso, misalnya, berasal dari kata tou dan passo. Kita juga mengenal kata Tontimomor, dari kata tou timomor. Atau Tondegesan: tou degesan. Atau Tombasian: tou wasian, dan seterusnya.

Tonaas Wangko

Pak Boseke juga menyebut soal Tonaas Wangko, yang menurutnya berasal dari Bahasa Han, tou na shu wang quo yang artinya pemimpin yang menguasai negara kerajaan Shu. Padahal, tonaas itu berasal dari kata tou dan taas. Taas arti harfiahnya keras. Huruf t pada taas berubah menjadi n ketika dipadankan dengan kata tou sehingga tou+taas menjadi tonaas. Secara harfiah tonaas artinya orang yang keras, dan biasanya diartikan sebagai seseorang yang “berisi” atau berhikmat.

Kata dasar taas juga bisa digabung dengan awalan ti dan menjadi ti-taas atau timaas, yang artinya mengeras, atau bersifat keras.

Di Minahasa, kata Tonaas tidak selamanya dipadankan dengan kata wangko (kata wangko arti harfiahnya adalah ‘besar’). Dalam banyak hal, tonaas hanya disebut secara tunggal, untuk menyebut figur tertentu di sebuah pemukiman yang punya “ilmu”.

Amang Kasuruan

Contoh lain terkait kurangnya pemahaman pada Bahasa Minahasa, adalah kalimat Amang Kasuruan, yang menurut pak Boseke berasal dari Bahasa Han, AMang Kai Shu Ru An, yang maknanya terkait dengan sebutan pada Liu Bei, pemimpin dari orang jujur yang mendirikan Dinasti Shu.

Dalam Bahasa Minahasa, Amang, atau Ama’, arti harfiahnya adalah ayah atau bapa. Di Minahasa ada istilah “Ina wo si Ama”, yang artinya ibu dan ayah. Namun terkadang istilah Amang ini merujuk pada Sang Pencipta.

Kasuruan berasal dari kata dasar suru yang artinya tunas. Wangko artinya besar. Amang Kasuruan Wangko secara bebas diterjemahkan sebagai Tuhan Maha Pencipta.

Kasuruan yang berasal dari kata dasar “suru”, diberi awalan ka dan akhiran an. Bukti bahwa kata suru dalam ka-suru-an merupakan kata dasar bisa kita lihat dengan mengganti kata itu dengan kata dasar Bahasa Minahasa lain.

Jika suru pada ka-suru-an diganti kata “wangko”, kita akan mendapatkan kata ka-wangko-an, artinya “tempat yang besar”. Jika suru diganti kata patar, kita akan mendapatkan kata ka-patar-an, kapataran, yang artinya tanah datar. Jika diganti kata “leos”, menjadi ka-leos-an, artinya kebaikan. Jika diganti kata “wangun”, menjadi kawangunen atau kewangunen. Dan seterusnya.

Karena kata suru pada kasuruan bisa diganti dengan kata dasar lain dalam Bahasa Minahasa, maka jelas teori bahwa kasuruan berasal dari Bahasa Han itu mentah dan sama sekali tidak berdasar.

Pakatuan pakalawiren

Begitu juga dengan istilah pakatuan dan pakalawiren, salah satu jargon terkenal Minahasa. Pak Boseke menyebut istilah pakatuan pakalawiren berasal Bahasa Han, ba kuai duan ba kuai lao hui ren.

(bersambung di buku, hehehe)

1 comment:

Anonymous said...

Kapan mas Gajah Mada Rebirth 2 rilis?

.
.
Powered by Blogger.