Thian Po (Pusaka Langit)
Kisah ini pernah diposting di indozone, cerita silat bersetting Mandarin dengn genre misteri. Cerita ini dibuat setelah saya membaca Da Vinci Code, dan ingin melihat apakah saya bisa membuat cerita misteri yang berbelit. Kisah ini sudah lama sekali tidak diupdate, bahkan saya sendiri sudah lupa bagaimana kisahnya. Semoga setelah diposting di blog ini saya bisa mendapatkan mood untuk membuat lanjutannya....
Bab 1. Darah Mengalir di Pek-Kiam-Pang
LELAKI itu termenung, matanya menatap sang surya yang perlahan memasuki peraduan. Dia mendesah.
Lelaki ini berusia 60 tahun, dengan rambut panjang sebahu yang sebagian sudah memutih. Kulitnya mulai keriput dengan jenggot dan kumis terpelihara. Dia mengenakan jubah panjang berwarna putih.
“Tinggal satu hari, dan semua akan berakhir,” bisiknya. Dia kembali menarik nafas panjang. Kedua telapak tangan digerakkan menutupi wajah. Tinggal satu hari. Semoga saja aku punya waktu.
Dia mendengar seseorang memasuki kamarnya. Dia berpaling. Seorang lelaki berusia sekitar 40 tahun mendekat penuh hormat.
“Bagaimana Kai Song?”
“Maaf mengganggu, pangcu. Tamu dari Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai sudah tiba. Begitu juga rombongan dari Siauw-lin-pai dan Bu-tong-pai...”
Lelaki setengah tua yang disapa pangcu ini menganggukkan kepala. “Layani mereka dengan baik. Jamu mereka makan malam. Penginapan untuk para tamu sudah disiapkan bukan? Ada lagi?”
“Emh, mungkin ini tidak penting. Tapi aku pikir pangcu perlu tahu. Rombongan Siauw-lin-pai dipimpin Wat Siok Hosiang, sedangkan rombongan Kun-lun-pai dipimpin Giok Cin Tosu. Berarti tidak ada Ciangbunjin (Ketua) partai besar yang hadir....”
Lelaki setengah tua itu menganggukkan kepala. “Tidak masalah, Kai Song. Aku sudah menduga. Kita harus tahu diri. Pek-kiam-pang bukanlah sebuah perkumpulan besar. Kita justru perlu bersyukur karena partai besar masih mengirimkan wakilnya. Berarti mereka tidak memandang kita dengan sebelah mata...”
“Oh ya, tadi aku sempat berbincang dengan Wat Siok Hosiang. Dia masih tidak percaya kalau pangcu akan mengundurkan diri besok,” kata Kai Song. “Dia bilang, ‘pangcu Can Te Cun masih terlalu muda untuk mengundurkan diri dari dunia persilatan’. Dia membandingkan dengan Kim Sim Hosiang yang masih menjabat Ciangbunjin Siauw-lin-pai kendati sudah berusia 70 tahun...”
Lelaki setengah tua yang ternyata bernama Can Te Cun ini tersenyum getir. “Wat Siok Hosiang bukan orang pertama yang menanyakan kabar itu. Selang sebulan terakhir aku banyak menerima pertanyaan dari para sahabat. Mereka umumnya tidak yakin kalau aku benar-benar ingin mengundurkan diri. Tapi keputusanku sudah bulat. Lagi pula aku yakin sudah mendapatkan pengganti yang sepadan...”
Kai Song menundukkan kepala. Alisnya berkerut. “Aku berterima kasih karena pangcu berkenan memberikan kepercayaan kepadaku menjadi pangcu yang baru. Namun aku tetap merasa belum pantas. Kepandaian silatku belum memadai...”
“Memimpin sebuah perkumpulan silat tidak hanya dibutuhkan kepandaian tinggi, tapi kematangan berpikir dan kemampuan bertindak tegas dan lugas. Kau punya kharisma, Kai Song, dan aku yakin kau bisa membawa Pek-kiam-pang menjadi lebih besar...”
“Aku masih menganggap Can Han Sin-sute yang paling tepat untuk menjadi pangcu Pek-kiam-pang,” ujar Kai Song.
Te Cun memejamkan mata dan tanpa sadar menggelengkan kepala. “Cucuku Han Sin masih terlalu muda. Usianya belum 25 tahun. Mungkin kelak dia bisa menjadi pangcu Pek-kiam-pang, siapa tahu. Namun untuk saat ini, tidak ada yang pantas selain engkau.”
Kai Song terdiam, masih menunduk.
“Sebaiknya kau temani para tamu. Katakan aku kurang enak badan, jadi tak bisa menemui mereka.”
Kai Song mengangguk dan dengan penuh hormat meninggalkan kamar.
Te Cun perlahan mendekati jendela. Kamarnya yang terletak di lantai dua memungkinkan dia melihat sekeliling. Di bagian depan beberapa lelaki sedang membuat panggung untuk acara besok. Yang lain sedang menyiapkan dekorasi. Di sebelah kanan, sekitar 30 tombak dari panggung terlihat belasan rumah sederhana berjejeran.
Rumah-rumah itu dibangun sejak sebulan lalu khusus untuk penginapan para tamu. Seperti yang dia duga, banyak undangan yang datang beberapa hari sebelum perayaan. Sebagai tuan rumah yang baik dia tentu saja harus menyediakan sarana penginapan dan makan minum.
Sebagian besar rumah-rumah itu kini sudah dipasangi lampu. Samar terdengar gelak tawa yang berasal dari halaman, berpadu dengan bunyi papan yang dipotong.
Te Cun kembali menarik nafas panjang, dan memejamkan mata. Tinggal sesaat lagi. Semoga saja aku punya waktu...
***
KIANG Cu Ge menguap, menatap rekan-rekannya yang sedang menyelesaikan panggung. Matahari sudah sejak tadi terbit dari peraduannya.
Dia kemudian pura-pura menyibukkan diri ketika melihat Kai Song berjalan ke arah mereka. Sudah bukan rahasia lagi kalau Kai Song telah ditetapkan sebagai pangcu yang baru, menggantikan Can Te Cun yang bakal mengundurkan diri sebentar lagi.
“Kenapa belum ada tamu yang ke ruang makan?” terdengar Kai Song bertanya.
Tidak ada yang menjawab, karena mereka memang tidak tahu. Mereka hanya saling pandang.
“Emmm, mungkin mereka belum bangun. Sejak tadi aku belum melihat satu pun para tamu...” Rekan Cu Ge, A-Kiu menjawab.
“Belum bangun? Sejak tadi?” tanya Kai Song. Dia lalu berpaling kepada Cu Ge, A Kiu dan Cun Bun. “Kalian temui para tamu. Katakan sarapan sudah tersedia. Ingat, bersikaplah sopan.”
Tanpa menjawab ketiga lelaki ini berjalan tergesa.
“Huh, anggota partai terkenal ternyata punya kebiasaan bangun terlambat ya?” ujar Cu Ge. Namun kedua rekannya hanya berdiam diri, tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Cu Ge mendekati rumah terdekat. Nyala lampu masih terlihat. Jendela masih tertutup rapat.
“Maaf, permisi, selamat pagi….” Ujar Cu Ge sambil mengetuk pintu. Dia berdiam diri, menanti jawaban. Tak terdengar jawaban dari dalam rumah.
Dia kembali mengetuk, dengan perlahan namun cukup nyaring. Seingat dia, rumah ini ditempati para tamu dari Kun-lun-pai. Karena mereka berilmu tinggi, seharusnya ketukan ini bisa membangunkan mereka.
Kembali tidak terdengar sahutan. Perlahan Cu Ge mendorong pintu. Ternyata tidak terkunci. Dia kemudian mencium bau, bau amis yang aromanya terasa akrab.
Cu Ge melangkah, dan tiba-tiba merasa kaki kanannya menginjak sesuatu yang lengket. Dia menoleh ke bawah, dan terkejut. Dia menginjak genangan darah!!
Dengan hati-hati dia melangkah. Lantai rumah yang terbuat dari campuran pasir kasar dan batu halus dipenuhi darah, yang memancarkan aroma menusuk.
Pandangannya kemudian tertuju pada dua sosok lelaki yang terbaring terlentang. Mata mereka melotot, dengan wajah seperti terkejut. Tenggorokan mereka berlubang dan darah mengalir dari luka itu.
Kiang Cu Ge menutup mata, mengatur nafas, mencoba menghilangkan rasa mual yang tiba-tiba muncul. Lututnya terasa goyah, namun dia memaksakan diri melangkah. Menuju ke kamar.
Rumah yang dibangun secara darurat dan sederhana ini hanya memiliki satu buah kamar, yang berukuran sekitar empat kali empat tombak. Pintu kamar terbuka. Seorang lelaki berusia 40-an tahun terbaring terlentang. Separuh tubuhnya di atas tempat tidur, separuh lainnya di lantai. Kedua matanya juga melotot, dan lubang besar terlihat di tenggorokan, seperti bunga mawar yang merekah. Tangan kanannya memegang pedang. Dia rupanya mencoba melawan, namun ajal lebih dulu menjemput.
Perlahan Cu Ge berbalik. Dadanya berdebar dan terasa sesak. Pemandangan ini sangat luar biasa sehingga untuk sesaat dia berharap hanya bermimpi. Namun ini bukan mimpi. Ini nyata. Rombongan dari Kun-lun-pai tewas dengan tenggorokan berlubang.
Perlahan dia berjalan ke pintu, melangkah hati-hati mencoba menghindari genangan darah. Usahanya sia-sia. Sepatu rumput dan bagian bawah celana panjangnya kini berubah warna menjadi merah. Dan terasa lengket.
Cu Ge membuka pintu. Dia melihat rekannya Cun Bun muncul dari rumah sebelah, rumah yang ditempati rombongan dari Hoa-san-pai. Raut wajah Cun Bun pucat pasi, seperti baru melihat hantu. Kedua tangan Cun Bun berlumuran darah.
Cun Ge merasa bagian belakang tubuhnya meremang. Dia merinding. Melihat raut wajah rekannya, dan melihat darah di telapak tangan Cun Bun, Cu Ge tiba-tiba dihinggapi perasaan aneh. Tanpa bicara Cun Bun telah mengatakan satu hal: Rombongan Hoa-san-pai juga telah tewas.
Tiba-tiba terdengar jeritan histeris. Jeritan seorang lelaki, diikuti terbukanya pintu. A-kiu menjerit berlarian. Wajahnya pucat seperti kertas.
“Matiiii… mereka mati……” A-kiu berlari seperti orang gila, diikuti Cun Bun dan Cu Ge, yang memaksakan diri berlari kendati merasa tubuhnya lemas.
“A-kiu… apa-apaan kau…. Siapa yang mati…” tanya Kai Song.
“Mereka mati… Tewas…. Semuanya….” teriak A-kiu. Matanya terbelalak, wajahnya dipenuhi peluh. Dia kemudian berlari, memasuki rumah, berteriak seperti dikejar setan.
“Mati…. Semua mati…..”
Kai Song segera melompat dan berlari ke arah rumah yang ditempati para tamu, diikuti beberapa laki-laki yang tadi sedang menyelesaikan pembuatan panggung.
Pagi yang tadinya tenang berubah menjadi kacau balau. Teriakan A-kiu masih terdengar samar. Orang-orang berlarian, sebagian dengan raut wajah bingung.
Keributan ini didengar Can Te Cun, yang sedang bersemadi di kamarnya di lantai dua. Teriakan A-Kiu menjelaskan semuanya. Mereka telah mati. Para tamu telah tewas. Tewas dibunuh.
Jantung Te Cun berdetak keras. Mereka telah datang. Mereka tahu.
***
PARA anggota Pek-kiam-pang segera membuka jalan ketika melihat Can Te Cun datang. Wajah sang pangcu pucat pasi, dan terlihat letih.
“Bagaimana Kai Song?” tanya Te Cun setengah berbisik.
“Para tamu tewas. Semuanya,” kata Kai Song.
“Semuanya? Termasuk tamu dari Siauw-lin-pai?”
“Semua. Juga Wat Siok Hosiang dan ketiga anak buahnya.”
Can Te Cun mendesah, seperti ingin membuang semua beban yang menghimpit di dada. Dia kemudian berjalan, dan memeriksa. Seorang pemuda berwajah tampan tiba-tiba muncul dan melompat dari atap rumah yang ditempati rombongan Hoa-san-pai.
“Aku telah melakukan pemeriksaan, kong-kong (kakek). Tidak ada genteng yang rusak. Juga tidak ada jendela yang dibuka paksa. Agaknya para pembunuh masuk melalui pintu depan,” kata si pemuda.
Te Cun mengangguk, mencoba tersenyum. “Bagus Han Sin. Apa lagi yag kau temukan?”
“Para pembunuh pastilah berilmu tinggi. Para saudara yang membuat panggung bekerja hingga dini hari, namun tidak mendengar atau melihat hal-hal mencurigakan. Tidak terdengar bunyi perkelahian, tidak terdengar jeritan kesakitan,” ujar Han Sin.
Te Cun memejamkan mata. Tentu saja mereka berilmu tinggi. Dan mereka bisa datang seperti angin. Anak buahnya yang ilmunya jauh lebih rendah pasti tidak bisa mendengar apa-apa.
“Ada lagi?” kata Te Cun. Suaranya terdengar seperti mengambang.
“Para tamu semua tewas, namun dengan sebab yang berbeda. Rombongan dari Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai tewas oleh pedang. Tamu dari Siauw-lin-pai tewas karena pukulan di kepala. Rombongan dari Kong-tong-pai terkena pukulan di dada, dan tamu dari Hek-tiauw-pang tewas terkena pukulan di kepala. Aku belum memeriksa tamu yang lain…”
“Huh, Hek-tiauw-pang biasa membunuh dengan jurus cakar, kini mereka tewas dengan ilmu cakar…..” Suara itu terdengar dari belakang. Entah siapa yang bicara.
Han Sin tiba-tiba terlonjak kaget, seperti disengat petir. “Ah benar sekali….Kenapa tidak terpikir dari tadi?”
“Apa maksudmu Han Sin?” tanya Te Cun.
“Aku pikir… Aku pikir…. Aku tahu kenapa para tamu tewas dengan sebab yang berbeda…”
“Maksudmu?”
“Mereka, para tamu, tewas oleh ilmu silat andalan mereka… Rombongan Hek-tiauw-pang misalnya. Aku yakin mereka tewas oleh ilmu cakar yang disebut Jing-mo-jiu (Tangan Hantu Hijau) yang mereka andalkan. Sedangkan rombongan Kong-tong-pai aku yakin tewas terkena ilmu Pek-lek-sin-jiu (Pukulan Halilintar)….. Kong-kong pernah bercerita kalau Pek-Lek-sin-jiu adalah ilmu andalan Kong-tong-pai, berupa pukulan dengan telapak tangan yang mengandung hawa panas bukan?”
Te Cun memandang wajah Han Sin yang terlihat bergairah. Cucunya ini ternyata jauh lebih cerdik dari yang dia duga. Ada harapan, pikirnya.
“Kong-kong? Kenapa?” tanya Han Sin setelah melihat sang kakek seperti sedang melamun.
“Eh, apa? Oh ya. Kemungkinan itu bisa saja. Jadi rombongan Bu-tong-pai dan lainnya juga tewas oleh ilmu mereka?”
“Aku pikir Han Sin-sute benar, pangcu. Rombongan Kun-lun-pai tewas dengan luka tusukan di tenggorokan. Aku menduga mereka diserang dengan jurus Ci-gi-tong-lay (Pelangi Melintas dari Timur) dari Kun-lun Kiam-Hoat (Ilmu Pedang Kun Lun).”
“Benar, suheng. Sementara rombongan Bu-tong-pai tewas dengan tubuh terbelah. Aku yakin mereka diserang dengan jurus Liu-sing-kan-goat (Bintang Meluncur Memburu Rembulan) dari Bu-tong Kiam-hoat,” kata Han Sin. Matanya berbinar.
“Bagaimana dengan rombongan Siauw-lin-pai?”
“Mereka tewas dengan kepala berlubang, kong-kong. Ada tiga lubang. Aku yakin tiga lubang itu bekas tiga jari. Aku menduga mereka diserang dengan jurus Yu-co-an-hoa-chiu (Pukulan Menembus Bunga), dari Kin-na-chiu-hoat (Ilmu menangkap dan Mencengkeram) yang terkenal itu.”
Te Cun memejamkan mata, dan menunduk. Dia kemudian menarik nafas panjang. Berkali-kali.
“Apakah kong-kong dapat menduga siapa kira-kira yang melakukan pembunuhan keji ini? Dia atau mereka berilmu tinggi dan menguasai bermacam ilmu. Pasti tidak sukar untuk mencari mereka, karena yang menguasai bermacam ilmu tinggi pasti tidak banyak…”
Te Cun menggelengkan kepala. “Nanti kita bicarakan lagi. Yang utama, kita urus dulu jenasah mereka. Segera buat peti mati. Kalau papan tidak cukup, ambil papan dari rumah-rumah ini. Kemudian kita pikirkan bagaimana mengirimkan jasad ini ke tempat asal mereka.”
“Karena tempatnya cukup jauh, aku pikir sebaiknya kita menggunakan jasa piaukiok. Emmm, mungkin kita bisa menghubungi Lok Yang piaukiok yang berada di Kota Lok Yang. Mereka punya reputasi bagus,” ujar Kai Song.
Te Cun mengangguk setuju. Lok Yang piaukiok merupakan perusahaan jasa pengiriman yang terkenal di dunia kang-ouw. Pimpinan mereka, Tan Leng Ko berilmu tinggi namun rendah hati. Sejauh ini dia tidak pernah mendengar kabar buruk tentang barang yang dibawa Lok Yang piaukiok.
“Kau aturlah. Hubungi mereka dan tanya berapa biayanya. Katakan terus terang bahwa yang akan dikirim adalah jenasah. Kita akan membayar berapa pun yang mereka minta. Usahakan agar Tan Leng Ko bisa turun tangan sendiri, melakukan pengawalan…”
Kai Song mengangguk dan segera memberi perintah kepada anak buahnya. Sebagian anggota Pek-kiam-pang meneruskan pembuatan panggung. Namun suasana telah berubah.
***
TE Cun memanggil Kiang Cu Ge. Kedua lelaki ini berjalan perlahan, memasuki rumah dan beranjak ke lantai dua. Di kamar Te Cun segera mengunci pintu.
Tanpa bicara dia kemudian membuka laci sebuah lemari yang terletak di sudut. Te Cun mengambil sebuah sampul surat.
“Berikan surat ini kepada Han Sin. Namun ingat, surat ini baru kau berikan setelah kalian berada di tempat itu. Kau mengerti?”
Cu Ge mengangguk. Tak tahu harus bicara apa.
“Kau masih ingat bagaimana cara memasuki tempat itu bukan? Ingat, lakukan secara diam-diam. Nyawa kalian taruhannya.”
Kembali Cu Ge mengangguk, kendati tidak sepenuhnya mengerti. Pangcu menitipkan surat bersampul. Kenapa tidak memberikannya sendiri? Bukankah surat itu akan diberikan pada cucu kandungnya sendiri?
“Sebenarnya aku bisa memberikan surat ini secara langsung. Tapi terlalu berbahaya,” kata Te Cun seolah mengetahui apa yang ada di benak Cu Ge. “Sekarang pergilah. Ingat, sesudah makan siang, kau ajak Han Sin ke tempat itu. Dan patuhi apa yang aku pesankan di surat,” tambah Te Cun.
Cu Ge mengangguk dan berpaling.
“Cu Ge, tunggu….” Cu Ge berpaling dan terkejut melihat kedua mata pangcunya basah.
“Cu Ge, berjanjilah bahwa kau akan melakukan perintahku…”
“Aku berjanji, pangcu. Bahkan aku siap bersumpah jika itu membuat pangcu merasa lebih baik…”
Te Cun mencoba tersenyum, dan mengerjapkan matanya. “Kau tidak perlu bersumpah. Aku percaya sepenuhnya padamu. Kalau tidak….” Te Cun menggelengkan kepala. “Kau pergilah….”
Perlahan Cu Ge membuka pintu. Tangan kanannya meraba surat yang diselipkan di saku pakaian. Dadanya berdebar.
Te Cun menatap Cu Ge yang menuruni tangga. Dia kemudian menutup pintu. Mereka sudah tahu. Rencana terpaksa dirubah. Dia mendesah. Semoga Thian mengampuni aku…
***
KAI Song mengawasi belasan anggota Pek-kiam-pang yang sedang membuat peti mati. Ada 21 peti yang harus dibuat. Peti mati untuk 21 tamu yang tewas secara misterius.
Tewasnya para tamu membuat suasana di Pek-kiam-pang berubah total. Tidak ada lagi keceriaan. Canda tawa sudah lenyap bagai ditiup angin. Yang ada rasa gundah, rasa penasaran dan ketidakmengertian.
Selain rombongan dari lima partai besar, yakni Siauw-lin-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, Hoa-san-pai dan Kong-tong-pai, ada enam rombongan dari Bu-san-pang, Tiam-jong-pang, Hek-tiauw-pang, Thian-sang-pang, Kie-keng-pang dan Giok-hwa-pang yang datang. Semuanya tewas.
Kai Song menarik nafas panjang. Tewasnya para tamu pasti akan berbuntut panjang. Entah bagaimana caranya menjelaskan pembunuhan ini kepada ciangbunjin dan pangcu sejumlah partai dan perkumpulan. Bagaimana pun, mereka tewas sebagai tamu Pek-kiam-pang. Otomatis Pek-kiam-pang harus bertanggungjawab. Dan jika Can Te Cun benar-benar mengundurkan diri, maka tanggung-jawab itu harus dipikulnya.
“Yah, jika aku benar-benar menjadi pangcu, mau tidak mau tanggung-jawab itu harus kupikul,” pikir Kai Song. Keputusan Can Te Cun memilih Kai Song sebagai pangcu pengganti tidak menimbulkan riak. Kai Song adalah murid pertama dari lima anggota yang menjadi angkatan pertama. Dia sudah menjadi anggota Pek-kiam-pang selama 15 tahun, sejak hari pertama perkumpulan ini didirikan.
Ketika Can Te Cun mengungkapkan niatnya mundur sebagai pangcu, hanya ada dua nama yang muncul sebagai calon pengganti. Kai Song dan Can Han Sin. Awalnya Kai Song mengira Te Cun akan memilih Han Sin. Suatu pilihan yang bisa dipahami karena Han Sin sudah mewarisi semua ilmu kepandaian sang kakek. Dia juga tidak sombong dan sangat cerdik.
Namun Te Cun ternyata memilih Kai Song. Dan pilihan itu diumumkan secara terbuka.
“Sekarang aku mengerti kenapa pangcu memilih aku,” pikir Kai Song.
Jika Han Sin terpilih, dia pasti akan menemui kesulitan jika harus menjelaskan pembunuhan ini kepada para ciangbunjin dan pancu partai dan perkumpulan besar. Biar bagaimana pun, di dunia persilatan Han Sin masih tergolong anak kemarin sore.
Kai Song kembali menarik nafas panjang. Dia tidak tahu apa yang akan dikatakannya jika para ciangbunjin dan pangcu bertanya tentang identitas pembunuh. Menurut Han Sin, dan dia pikir hal itu ada benarnya, para tamu tewas terkena pukulan andalan yang mereka kuasai. Jika dia salah bicara, pasti akan timbul salah paham. Dan akibatnya bisa sangat fatal.
Namun siapa sebenarnya para pembunuh? Jika mereka ingin membunuh, kenapa harus dilakukan saat mereka berada di wilayah Pe-kiam-pang? Kai Song berpikir keras. Alisnya berkerut.
Atau, pembunuhan itu merupakan peringatan untuk Pek-kiam-pang? Dada Kai Song tiba-tiba berdetak kencang. Peringatan untuk Pek-kiam-pang!! Tapi kenapa? Dan apa alasannya?
Dia kemudian teringat raut wajah pangcu Can Te Cun ketika mendatangi lokasi pembunuhan. Te Cun terlihat terpukul, sangat terluka, namun jelas sekali Te Cun tidak terlihat kaget atau terkejut. Seakan-akan dia sudah menduga kalau hal ini akan terjadi.
Apakah pembunuhan ini ada hubungannya dengan niat Te Cun mengundurkan diri sebagai pangcu? Kai Song tiba-tiba merasa kepalanya pening. Terlalu banyak kemungkinan, namun hanya sebatas kemungkinan, tanpa fakta.
Pembuatan peti mati sudah hampir rampung. Sebagian anggota perkumpulan kini sibuk merubah dekorasi. Kain berwarna merah menyala dicabut, diganti warna putih. Suasana berkabung kini terasa.
“Usahakan pekerjaan sudah selesai sebelum makan siang,” ujar Kai Song. Jika upacara pengunduran diri Te Cun sebagai pangcu benar-benar akan dilaksanakan, maka upacara bisa dilakukan sesudah makan siang, sebelum para tamu yang sudah mendengar pembunuhan ini berdatangan.
“Aaaaaarrrrrgggghhh.....” Suara itu terdengar nyaring membelah suasana. Jeritan kesakitan. Dan datangnya dari kamar di lantai dua.
”Astaga, pangcu....” Kai Song yang tahu persis suara pangcunya segera melompat. Tangan kanannya kemudian menotol dinding dan dalam sekejap dia masuk melalui jendela kamar. Hampir bersamaan waktunya dengan Can Han Sin yang datang dari arah berlawanan.
Pemandangan yang terpampang nyaris membuat Kai Song dan Han Sin pingsan. Mereka melihat Te Cun, tergolek di kursi. Kepalanya rebah ke kiri, dengan leher hampir putus. Darah membanjiri baju putih yang dia kenakan. Tangan kanannya memegang sebilah pedang berlumuran darah.
“Kong-kongggg....” Han Sin menubruk kakeknya. Tubuhnya masih hangat. Namun nafasnya telah putus.
“Pangcu....” bisik Kai Song lirih dan tak percaya. Pangcunya bunuh diri, menggorok lehernya sendiri dengan Pek-kiam (Pedang Putih) yang selama ini digunakannya untuk menumpas para penjahat.
“Kong-kong, kenapa.... kenapa....” Han Sin berlutut di depan kakeknya, mengguncang lengan kiri kuat-kuat, seakan dengan mengguncang dia akan mendapatkan jawaban.
Kai Song mengarahkan pandangannya, melihat kalau-kalau ada sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk. Pandangannya tertuju pada sehelai kertas berwarna putih disertai sebuah pit (pena). Kertas itu ditindih sebuah batu kumala kecil.
Dia mengambil kertas itu, yang ternyata berisi pesan terakhir Can Te Cun. Kai Song menyerahkan surat ini kepada Han Sin.
Isi surat itu pendek, dan ditujukan kepada mereka berdua.
Kai Song dan Han Sin, maafkan aku.
Aku telah mencoba, tapi sudah terlambat. Mereka sudah tahu.
Kai Song, pimpinlah Pek-Kiam-Pang, contohi air yang mengalir
Han Sin, ikuti petunjuk.
Kelak, kalian berdua akan mengerti.
Sekali lagi, maafkan aku. Can Te Cun.
Han Sin membaca surat itu sekali lagi, dan mengulangi lagi. Namun surat itu justru membuatnya makin bingung. Dia mengangsurkan surat itu kepada Kai Song. Kai Song menggelengkan kepala.
“Kau simpan saja surat itu, Han Sin-sute...”
“Aku tidak mengerti, suheng. Apa maksud kakek? Kenapa dia mengatakan sudah terlambat?”
“Aku juga tidak mengerti, sute. Tapi aku pikir ini pasti ada hubungannya dengan pembunuhan yang menimpa para tamu.”
“Dan kakek menulis ‘mereka sudah tahu’. Mereka siapa??” Keduanya terdiam, merenung, tanpa jawaban.
“Dari semua yang ditulis kakek, hanya ada satu hal yang jelas. Yakni suheng diminta memimpin Pek-kiam-pang. Berarti kakek tetap menginginkan suheng menjadi pangcu...”
“Agaknya begitu, sute...” jawab Kai Song. Entah kenapa tiba-tiba dia merasa kerongkongannya seperti tercekik.
Sejumlah anggota Pek-kiam-pang kini memasuki kamar. Suasana gaduh. Kai Song segera memerintahkan anak buahnya mengatur jenasah Can Te Cun. “Siapkan peti mati untuk pangcu kita. Peti mati yang paling bagus.....”
Sementara Han Sin menuruni tangga seperti bermimpi. Apa yang terjadi hari ini benar-benar luar biasa dan sama sekali tak terbayangkan. Para tamu tewas, semuanya berilmu tinggi, perwakilan partai dan perkumpulan ternama. Dan kini kakeknya tewas. Bunuh diri. Dan meninggalkan surat yang tidak dimengerti.
Kenapa kakek bunuh diri? Benarkan terkait dengan pembunuhan para tamu? Bagaimana kaitannya, dan kenapa?
Han Sin membaca kembali surat itu. Membaca berulang-ulang pesan terakhir yang ditujukan untuknya.. Ikuti petunjuk. Ikuti petunjuk. Tapi petunjuk apa? Dia menggelengkan kepala dengan putus asa. (Bersambung)
Bab 1. Darah Mengalir di Pek-Kiam-Pang
LELAKI itu termenung, matanya menatap sang surya yang perlahan memasuki peraduan. Dia mendesah.
Lelaki ini berusia 60 tahun, dengan rambut panjang sebahu yang sebagian sudah memutih. Kulitnya mulai keriput dengan jenggot dan kumis terpelihara. Dia mengenakan jubah panjang berwarna putih.
“Tinggal satu hari, dan semua akan berakhir,” bisiknya. Dia kembali menarik nafas panjang. Kedua telapak tangan digerakkan menutupi wajah. Tinggal satu hari. Semoga saja aku punya waktu.
Dia mendengar seseorang memasuki kamarnya. Dia berpaling. Seorang lelaki berusia sekitar 40 tahun mendekat penuh hormat.
“Bagaimana Kai Song?”
“Maaf mengganggu, pangcu. Tamu dari Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai sudah tiba. Begitu juga rombongan dari Siauw-lin-pai dan Bu-tong-pai...”
Lelaki setengah tua yang disapa pangcu ini menganggukkan kepala. “Layani mereka dengan baik. Jamu mereka makan malam. Penginapan untuk para tamu sudah disiapkan bukan? Ada lagi?”
“Emh, mungkin ini tidak penting. Tapi aku pikir pangcu perlu tahu. Rombongan Siauw-lin-pai dipimpin Wat Siok Hosiang, sedangkan rombongan Kun-lun-pai dipimpin Giok Cin Tosu. Berarti tidak ada Ciangbunjin (Ketua) partai besar yang hadir....”
Lelaki setengah tua itu menganggukkan kepala. “Tidak masalah, Kai Song. Aku sudah menduga. Kita harus tahu diri. Pek-kiam-pang bukanlah sebuah perkumpulan besar. Kita justru perlu bersyukur karena partai besar masih mengirimkan wakilnya. Berarti mereka tidak memandang kita dengan sebelah mata...”
“Oh ya, tadi aku sempat berbincang dengan Wat Siok Hosiang. Dia masih tidak percaya kalau pangcu akan mengundurkan diri besok,” kata Kai Song. “Dia bilang, ‘pangcu Can Te Cun masih terlalu muda untuk mengundurkan diri dari dunia persilatan’. Dia membandingkan dengan Kim Sim Hosiang yang masih menjabat Ciangbunjin Siauw-lin-pai kendati sudah berusia 70 tahun...”
Lelaki setengah tua yang ternyata bernama Can Te Cun ini tersenyum getir. “Wat Siok Hosiang bukan orang pertama yang menanyakan kabar itu. Selang sebulan terakhir aku banyak menerima pertanyaan dari para sahabat. Mereka umumnya tidak yakin kalau aku benar-benar ingin mengundurkan diri. Tapi keputusanku sudah bulat. Lagi pula aku yakin sudah mendapatkan pengganti yang sepadan...”
Kai Song menundukkan kepala. Alisnya berkerut. “Aku berterima kasih karena pangcu berkenan memberikan kepercayaan kepadaku menjadi pangcu yang baru. Namun aku tetap merasa belum pantas. Kepandaian silatku belum memadai...”
“Memimpin sebuah perkumpulan silat tidak hanya dibutuhkan kepandaian tinggi, tapi kematangan berpikir dan kemampuan bertindak tegas dan lugas. Kau punya kharisma, Kai Song, dan aku yakin kau bisa membawa Pek-kiam-pang menjadi lebih besar...”
“Aku masih menganggap Can Han Sin-sute yang paling tepat untuk menjadi pangcu Pek-kiam-pang,” ujar Kai Song.
Te Cun memejamkan mata dan tanpa sadar menggelengkan kepala. “Cucuku Han Sin masih terlalu muda. Usianya belum 25 tahun. Mungkin kelak dia bisa menjadi pangcu Pek-kiam-pang, siapa tahu. Namun untuk saat ini, tidak ada yang pantas selain engkau.”
Kai Song terdiam, masih menunduk.
“Sebaiknya kau temani para tamu. Katakan aku kurang enak badan, jadi tak bisa menemui mereka.”
Kai Song mengangguk dan dengan penuh hormat meninggalkan kamar.
Te Cun perlahan mendekati jendela. Kamarnya yang terletak di lantai dua memungkinkan dia melihat sekeliling. Di bagian depan beberapa lelaki sedang membuat panggung untuk acara besok. Yang lain sedang menyiapkan dekorasi. Di sebelah kanan, sekitar 30 tombak dari panggung terlihat belasan rumah sederhana berjejeran.
Rumah-rumah itu dibangun sejak sebulan lalu khusus untuk penginapan para tamu. Seperti yang dia duga, banyak undangan yang datang beberapa hari sebelum perayaan. Sebagai tuan rumah yang baik dia tentu saja harus menyediakan sarana penginapan dan makan minum.
Sebagian besar rumah-rumah itu kini sudah dipasangi lampu. Samar terdengar gelak tawa yang berasal dari halaman, berpadu dengan bunyi papan yang dipotong.
Te Cun kembali menarik nafas panjang, dan memejamkan mata. Tinggal sesaat lagi. Semoga saja aku punya waktu...
***
KIANG Cu Ge menguap, menatap rekan-rekannya yang sedang menyelesaikan panggung. Matahari sudah sejak tadi terbit dari peraduannya.
Dia kemudian pura-pura menyibukkan diri ketika melihat Kai Song berjalan ke arah mereka. Sudah bukan rahasia lagi kalau Kai Song telah ditetapkan sebagai pangcu yang baru, menggantikan Can Te Cun yang bakal mengundurkan diri sebentar lagi.
“Kenapa belum ada tamu yang ke ruang makan?” terdengar Kai Song bertanya.
Tidak ada yang menjawab, karena mereka memang tidak tahu. Mereka hanya saling pandang.
“Emmm, mungkin mereka belum bangun. Sejak tadi aku belum melihat satu pun para tamu...” Rekan Cu Ge, A-Kiu menjawab.
“Belum bangun? Sejak tadi?” tanya Kai Song. Dia lalu berpaling kepada Cu Ge, A Kiu dan Cun Bun. “Kalian temui para tamu. Katakan sarapan sudah tersedia. Ingat, bersikaplah sopan.”
Tanpa menjawab ketiga lelaki ini berjalan tergesa.
“Huh, anggota partai terkenal ternyata punya kebiasaan bangun terlambat ya?” ujar Cu Ge. Namun kedua rekannya hanya berdiam diri, tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Cu Ge mendekati rumah terdekat. Nyala lampu masih terlihat. Jendela masih tertutup rapat.
“Maaf, permisi, selamat pagi….” Ujar Cu Ge sambil mengetuk pintu. Dia berdiam diri, menanti jawaban. Tak terdengar jawaban dari dalam rumah.
Dia kembali mengetuk, dengan perlahan namun cukup nyaring. Seingat dia, rumah ini ditempati para tamu dari Kun-lun-pai. Karena mereka berilmu tinggi, seharusnya ketukan ini bisa membangunkan mereka.
Kembali tidak terdengar sahutan. Perlahan Cu Ge mendorong pintu. Ternyata tidak terkunci. Dia kemudian mencium bau, bau amis yang aromanya terasa akrab.
Cu Ge melangkah, dan tiba-tiba merasa kaki kanannya menginjak sesuatu yang lengket. Dia menoleh ke bawah, dan terkejut. Dia menginjak genangan darah!!
Dengan hati-hati dia melangkah. Lantai rumah yang terbuat dari campuran pasir kasar dan batu halus dipenuhi darah, yang memancarkan aroma menusuk.
Pandangannya kemudian tertuju pada dua sosok lelaki yang terbaring terlentang. Mata mereka melotot, dengan wajah seperti terkejut. Tenggorokan mereka berlubang dan darah mengalir dari luka itu.
Kiang Cu Ge menutup mata, mengatur nafas, mencoba menghilangkan rasa mual yang tiba-tiba muncul. Lututnya terasa goyah, namun dia memaksakan diri melangkah. Menuju ke kamar.
Rumah yang dibangun secara darurat dan sederhana ini hanya memiliki satu buah kamar, yang berukuran sekitar empat kali empat tombak. Pintu kamar terbuka. Seorang lelaki berusia 40-an tahun terbaring terlentang. Separuh tubuhnya di atas tempat tidur, separuh lainnya di lantai. Kedua matanya juga melotot, dan lubang besar terlihat di tenggorokan, seperti bunga mawar yang merekah. Tangan kanannya memegang pedang. Dia rupanya mencoba melawan, namun ajal lebih dulu menjemput.
Perlahan Cu Ge berbalik. Dadanya berdebar dan terasa sesak. Pemandangan ini sangat luar biasa sehingga untuk sesaat dia berharap hanya bermimpi. Namun ini bukan mimpi. Ini nyata. Rombongan dari Kun-lun-pai tewas dengan tenggorokan berlubang.
Perlahan dia berjalan ke pintu, melangkah hati-hati mencoba menghindari genangan darah. Usahanya sia-sia. Sepatu rumput dan bagian bawah celana panjangnya kini berubah warna menjadi merah. Dan terasa lengket.
Cu Ge membuka pintu. Dia melihat rekannya Cun Bun muncul dari rumah sebelah, rumah yang ditempati rombongan dari Hoa-san-pai. Raut wajah Cun Bun pucat pasi, seperti baru melihat hantu. Kedua tangan Cun Bun berlumuran darah.
Cun Ge merasa bagian belakang tubuhnya meremang. Dia merinding. Melihat raut wajah rekannya, dan melihat darah di telapak tangan Cun Bun, Cu Ge tiba-tiba dihinggapi perasaan aneh. Tanpa bicara Cun Bun telah mengatakan satu hal: Rombongan Hoa-san-pai juga telah tewas.
Tiba-tiba terdengar jeritan histeris. Jeritan seorang lelaki, diikuti terbukanya pintu. A-kiu menjerit berlarian. Wajahnya pucat seperti kertas.
“Matiiii… mereka mati……” A-kiu berlari seperti orang gila, diikuti Cun Bun dan Cu Ge, yang memaksakan diri berlari kendati merasa tubuhnya lemas.
“A-kiu… apa-apaan kau…. Siapa yang mati…” tanya Kai Song.
“Mereka mati… Tewas…. Semuanya….” teriak A-kiu. Matanya terbelalak, wajahnya dipenuhi peluh. Dia kemudian berlari, memasuki rumah, berteriak seperti dikejar setan.
“Mati…. Semua mati…..”
Kai Song segera melompat dan berlari ke arah rumah yang ditempati para tamu, diikuti beberapa laki-laki yang tadi sedang menyelesaikan pembuatan panggung.
Pagi yang tadinya tenang berubah menjadi kacau balau. Teriakan A-kiu masih terdengar samar. Orang-orang berlarian, sebagian dengan raut wajah bingung.
Keributan ini didengar Can Te Cun, yang sedang bersemadi di kamarnya di lantai dua. Teriakan A-Kiu menjelaskan semuanya. Mereka telah mati. Para tamu telah tewas. Tewas dibunuh.
Jantung Te Cun berdetak keras. Mereka telah datang. Mereka tahu.
***
PARA anggota Pek-kiam-pang segera membuka jalan ketika melihat Can Te Cun datang. Wajah sang pangcu pucat pasi, dan terlihat letih.
“Bagaimana Kai Song?” tanya Te Cun setengah berbisik.
“Para tamu tewas. Semuanya,” kata Kai Song.
“Semuanya? Termasuk tamu dari Siauw-lin-pai?”
“Semua. Juga Wat Siok Hosiang dan ketiga anak buahnya.”
Can Te Cun mendesah, seperti ingin membuang semua beban yang menghimpit di dada. Dia kemudian berjalan, dan memeriksa. Seorang pemuda berwajah tampan tiba-tiba muncul dan melompat dari atap rumah yang ditempati rombongan Hoa-san-pai.
“Aku telah melakukan pemeriksaan, kong-kong (kakek). Tidak ada genteng yang rusak. Juga tidak ada jendela yang dibuka paksa. Agaknya para pembunuh masuk melalui pintu depan,” kata si pemuda.
Te Cun mengangguk, mencoba tersenyum. “Bagus Han Sin. Apa lagi yag kau temukan?”
“Para pembunuh pastilah berilmu tinggi. Para saudara yang membuat panggung bekerja hingga dini hari, namun tidak mendengar atau melihat hal-hal mencurigakan. Tidak terdengar bunyi perkelahian, tidak terdengar jeritan kesakitan,” ujar Han Sin.
Te Cun memejamkan mata. Tentu saja mereka berilmu tinggi. Dan mereka bisa datang seperti angin. Anak buahnya yang ilmunya jauh lebih rendah pasti tidak bisa mendengar apa-apa.
“Ada lagi?” kata Te Cun. Suaranya terdengar seperti mengambang.
“Para tamu semua tewas, namun dengan sebab yang berbeda. Rombongan dari Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai tewas oleh pedang. Tamu dari Siauw-lin-pai tewas karena pukulan di kepala. Rombongan dari Kong-tong-pai terkena pukulan di dada, dan tamu dari Hek-tiauw-pang tewas terkena pukulan di kepala. Aku belum memeriksa tamu yang lain…”
“Huh, Hek-tiauw-pang biasa membunuh dengan jurus cakar, kini mereka tewas dengan ilmu cakar…..” Suara itu terdengar dari belakang. Entah siapa yang bicara.
Han Sin tiba-tiba terlonjak kaget, seperti disengat petir. “Ah benar sekali….Kenapa tidak terpikir dari tadi?”
“Apa maksudmu Han Sin?” tanya Te Cun.
“Aku pikir… Aku pikir…. Aku tahu kenapa para tamu tewas dengan sebab yang berbeda…”
“Maksudmu?”
“Mereka, para tamu, tewas oleh ilmu silat andalan mereka… Rombongan Hek-tiauw-pang misalnya. Aku yakin mereka tewas oleh ilmu cakar yang disebut Jing-mo-jiu (Tangan Hantu Hijau) yang mereka andalkan. Sedangkan rombongan Kong-tong-pai aku yakin tewas terkena ilmu Pek-lek-sin-jiu (Pukulan Halilintar)….. Kong-kong pernah bercerita kalau Pek-Lek-sin-jiu adalah ilmu andalan Kong-tong-pai, berupa pukulan dengan telapak tangan yang mengandung hawa panas bukan?”
Te Cun memandang wajah Han Sin yang terlihat bergairah. Cucunya ini ternyata jauh lebih cerdik dari yang dia duga. Ada harapan, pikirnya.
“Kong-kong? Kenapa?” tanya Han Sin setelah melihat sang kakek seperti sedang melamun.
“Eh, apa? Oh ya. Kemungkinan itu bisa saja. Jadi rombongan Bu-tong-pai dan lainnya juga tewas oleh ilmu mereka?”
“Aku pikir Han Sin-sute benar, pangcu. Rombongan Kun-lun-pai tewas dengan luka tusukan di tenggorokan. Aku menduga mereka diserang dengan jurus Ci-gi-tong-lay (Pelangi Melintas dari Timur) dari Kun-lun Kiam-Hoat (Ilmu Pedang Kun Lun).”
“Benar, suheng. Sementara rombongan Bu-tong-pai tewas dengan tubuh terbelah. Aku yakin mereka diserang dengan jurus Liu-sing-kan-goat (Bintang Meluncur Memburu Rembulan) dari Bu-tong Kiam-hoat,” kata Han Sin. Matanya berbinar.
“Bagaimana dengan rombongan Siauw-lin-pai?”
“Mereka tewas dengan kepala berlubang, kong-kong. Ada tiga lubang. Aku yakin tiga lubang itu bekas tiga jari. Aku menduga mereka diserang dengan jurus Yu-co-an-hoa-chiu (Pukulan Menembus Bunga), dari Kin-na-chiu-hoat (Ilmu menangkap dan Mencengkeram) yang terkenal itu.”
Te Cun memejamkan mata, dan menunduk. Dia kemudian menarik nafas panjang. Berkali-kali.
“Apakah kong-kong dapat menduga siapa kira-kira yang melakukan pembunuhan keji ini? Dia atau mereka berilmu tinggi dan menguasai bermacam ilmu. Pasti tidak sukar untuk mencari mereka, karena yang menguasai bermacam ilmu tinggi pasti tidak banyak…”
Te Cun menggelengkan kepala. “Nanti kita bicarakan lagi. Yang utama, kita urus dulu jenasah mereka. Segera buat peti mati. Kalau papan tidak cukup, ambil papan dari rumah-rumah ini. Kemudian kita pikirkan bagaimana mengirimkan jasad ini ke tempat asal mereka.”
“Karena tempatnya cukup jauh, aku pikir sebaiknya kita menggunakan jasa piaukiok. Emmm, mungkin kita bisa menghubungi Lok Yang piaukiok yang berada di Kota Lok Yang. Mereka punya reputasi bagus,” ujar Kai Song.
Te Cun mengangguk setuju. Lok Yang piaukiok merupakan perusahaan jasa pengiriman yang terkenal di dunia kang-ouw. Pimpinan mereka, Tan Leng Ko berilmu tinggi namun rendah hati. Sejauh ini dia tidak pernah mendengar kabar buruk tentang barang yang dibawa Lok Yang piaukiok.
“Kau aturlah. Hubungi mereka dan tanya berapa biayanya. Katakan terus terang bahwa yang akan dikirim adalah jenasah. Kita akan membayar berapa pun yang mereka minta. Usahakan agar Tan Leng Ko bisa turun tangan sendiri, melakukan pengawalan…”
Kai Song mengangguk dan segera memberi perintah kepada anak buahnya. Sebagian anggota Pek-kiam-pang meneruskan pembuatan panggung. Namun suasana telah berubah.
***
TE Cun memanggil Kiang Cu Ge. Kedua lelaki ini berjalan perlahan, memasuki rumah dan beranjak ke lantai dua. Di kamar Te Cun segera mengunci pintu.
Tanpa bicara dia kemudian membuka laci sebuah lemari yang terletak di sudut. Te Cun mengambil sebuah sampul surat.
“Berikan surat ini kepada Han Sin. Namun ingat, surat ini baru kau berikan setelah kalian berada di tempat itu. Kau mengerti?”
Cu Ge mengangguk. Tak tahu harus bicara apa.
“Kau masih ingat bagaimana cara memasuki tempat itu bukan? Ingat, lakukan secara diam-diam. Nyawa kalian taruhannya.”
Kembali Cu Ge mengangguk, kendati tidak sepenuhnya mengerti. Pangcu menitipkan surat bersampul. Kenapa tidak memberikannya sendiri? Bukankah surat itu akan diberikan pada cucu kandungnya sendiri?
“Sebenarnya aku bisa memberikan surat ini secara langsung. Tapi terlalu berbahaya,” kata Te Cun seolah mengetahui apa yang ada di benak Cu Ge. “Sekarang pergilah. Ingat, sesudah makan siang, kau ajak Han Sin ke tempat itu. Dan patuhi apa yang aku pesankan di surat,” tambah Te Cun.
Cu Ge mengangguk dan berpaling.
“Cu Ge, tunggu….” Cu Ge berpaling dan terkejut melihat kedua mata pangcunya basah.
“Cu Ge, berjanjilah bahwa kau akan melakukan perintahku…”
“Aku berjanji, pangcu. Bahkan aku siap bersumpah jika itu membuat pangcu merasa lebih baik…”
Te Cun mencoba tersenyum, dan mengerjapkan matanya. “Kau tidak perlu bersumpah. Aku percaya sepenuhnya padamu. Kalau tidak….” Te Cun menggelengkan kepala. “Kau pergilah….”
Perlahan Cu Ge membuka pintu. Tangan kanannya meraba surat yang diselipkan di saku pakaian. Dadanya berdebar.
Te Cun menatap Cu Ge yang menuruni tangga. Dia kemudian menutup pintu. Mereka sudah tahu. Rencana terpaksa dirubah. Dia mendesah. Semoga Thian mengampuni aku…
***
KAI Song mengawasi belasan anggota Pek-kiam-pang yang sedang membuat peti mati. Ada 21 peti yang harus dibuat. Peti mati untuk 21 tamu yang tewas secara misterius.
Tewasnya para tamu membuat suasana di Pek-kiam-pang berubah total. Tidak ada lagi keceriaan. Canda tawa sudah lenyap bagai ditiup angin. Yang ada rasa gundah, rasa penasaran dan ketidakmengertian.
Selain rombongan dari lima partai besar, yakni Siauw-lin-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, Hoa-san-pai dan Kong-tong-pai, ada enam rombongan dari Bu-san-pang, Tiam-jong-pang, Hek-tiauw-pang, Thian-sang-pang, Kie-keng-pang dan Giok-hwa-pang yang datang. Semuanya tewas.
Kai Song menarik nafas panjang. Tewasnya para tamu pasti akan berbuntut panjang. Entah bagaimana caranya menjelaskan pembunuhan ini kepada ciangbunjin dan pangcu sejumlah partai dan perkumpulan. Bagaimana pun, mereka tewas sebagai tamu Pek-kiam-pang. Otomatis Pek-kiam-pang harus bertanggungjawab. Dan jika Can Te Cun benar-benar mengundurkan diri, maka tanggung-jawab itu harus dipikulnya.
“Yah, jika aku benar-benar menjadi pangcu, mau tidak mau tanggung-jawab itu harus kupikul,” pikir Kai Song. Keputusan Can Te Cun memilih Kai Song sebagai pangcu pengganti tidak menimbulkan riak. Kai Song adalah murid pertama dari lima anggota yang menjadi angkatan pertama. Dia sudah menjadi anggota Pek-kiam-pang selama 15 tahun, sejak hari pertama perkumpulan ini didirikan.
Ketika Can Te Cun mengungkapkan niatnya mundur sebagai pangcu, hanya ada dua nama yang muncul sebagai calon pengganti. Kai Song dan Can Han Sin. Awalnya Kai Song mengira Te Cun akan memilih Han Sin. Suatu pilihan yang bisa dipahami karena Han Sin sudah mewarisi semua ilmu kepandaian sang kakek. Dia juga tidak sombong dan sangat cerdik.
Namun Te Cun ternyata memilih Kai Song. Dan pilihan itu diumumkan secara terbuka.
“Sekarang aku mengerti kenapa pangcu memilih aku,” pikir Kai Song.
Jika Han Sin terpilih, dia pasti akan menemui kesulitan jika harus menjelaskan pembunuhan ini kepada para ciangbunjin dan pancu partai dan perkumpulan besar. Biar bagaimana pun, di dunia persilatan Han Sin masih tergolong anak kemarin sore.
Kai Song kembali menarik nafas panjang. Dia tidak tahu apa yang akan dikatakannya jika para ciangbunjin dan pangcu bertanya tentang identitas pembunuh. Menurut Han Sin, dan dia pikir hal itu ada benarnya, para tamu tewas terkena pukulan andalan yang mereka kuasai. Jika dia salah bicara, pasti akan timbul salah paham. Dan akibatnya bisa sangat fatal.
Namun siapa sebenarnya para pembunuh? Jika mereka ingin membunuh, kenapa harus dilakukan saat mereka berada di wilayah Pe-kiam-pang? Kai Song berpikir keras. Alisnya berkerut.
Atau, pembunuhan itu merupakan peringatan untuk Pek-kiam-pang? Dada Kai Song tiba-tiba berdetak kencang. Peringatan untuk Pek-kiam-pang!! Tapi kenapa? Dan apa alasannya?
Dia kemudian teringat raut wajah pangcu Can Te Cun ketika mendatangi lokasi pembunuhan. Te Cun terlihat terpukul, sangat terluka, namun jelas sekali Te Cun tidak terlihat kaget atau terkejut. Seakan-akan dia sudah menduga kalau hal ini akan terjadi.
Apakah pembunuhan ini ada hubungannya dengan niat Te Cun mengundurkan diri sebagai pangcu? Kai Song tiba-tiba merasa kepalanya pening. Terlalu banyak kemungkinan, namun hanya sebatas kemungkinan, tanpa fakta.
Pembuatan peti mati sudah hampir rampung. Sebagian anggota perkumpulan kini sibuk merubah dekorasi. Kain berwarna merah menyala dicabut, diganti warna putih. Suasana berkabung kini terasa.
“Usahakan pekerjaan sudah selesai sebelum makan siang,” ujar Kai Song. Jika upacara pengunduran diri Te Cun sebagai pangcu benar-benar akan dilaksanakan, maka upacara bisa dilakukan sesudah makan siang, sebelum para tamu yang sudah mendengar pembunuhan ini berdatangan.
“Aaaaaarrrrrgggghhh.....” Suara itu terdengar nyaring membelah suasana. Jeritan kesakitan. Dan datangnya dari kamar di lantai dua.
”Astaga, pangcu....” Kai Song yang tahu persis suara pangcunya segera melompat. Tangan kanannya kemudian menotol dinding dan dalam sekejap dia masuk melalui jendela kamar. Hampir bersamaan waktunya dengan Can Han Sin yang datang dari arah berlawanan.
Pemandangan yang terpampang nyaris membuat Kai Song dan Han Sin pingsan. Mereka melihat Te Cun, tergolek di kursi. Kepalanya rebah ke kiri, dengan leher hampir putus. Darah membanjiri baju putih yang dia kenakan. Tangan kanannya memegang sebilah pedang berlumuran darah.
“Kong-kongggg....” Han Sin menubruk kakeknya. Tubuhnya masih hangat. Namun nafasnya telah putus.
“Pangcu....” bisik Kai Song lirih dan tak percaya. Pangcunya bunuh diri, menggorok lehernya sendiri dengan Pek-kiam (Pedang Putih) yang selama ini digunakannya untuk menumpas para penjahat.
“Kong-kong, kenapa.... kenapa....” Han Sin berlutut di depan kakeknya, mengguncang lengan kiri kuat-kuat, seakan dengan mengguncang dia akan mendapatkan jawaban.
Kai Song mengarahkan pandangannya, melihat kalau-kalau ada sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk. Pandangannya tertuju pada sehelai kertas berwarna putih disertai sebuah pit (pena). Kertas itu ditindih sebuah batu kumala kecil.
Dia mengambil kertas itu, yang ternyata berisi pesan terakhir Can Te Cun. Kai Song menyerahkan surat ini kepada Han Sin.
Isi surat itu pendek, dan ditujukan kepada mereka berdua.
Kai Song dan Han Sin, maafkan aku.
Aku telah mencoba, tapi sudah terlambat. Mereka sudah tahu.
Kai Song, pimpinlah Pek-Kiam-Pang, contohi air yang mengalir
Han Sin, ikuti petunjuk.
Kelak, kalian berdua akan mengerti.
Sekali lagi, maafkan aku. Can Te Cun.
Han Sin membaca surat itu sekali lagi, dan mengulangi lagi. Namun surat itu justru membuatnya makin bingung. Dia mengangsurkan surat itu kepada Kai Song. Kai Song menggelengkan kepala.
“Kau simpan saja surat itu, Han Sin-sute...”
“Aku tidak mengerti, suheng. Apa maksud kakek? Kenapa dia mengatakan sudah terlambat?”
“Aku juga tidak mengerti, sute. Tapi aku pikir ini pasti ada hubungannya dengan pembunuhan yang menimpa para tamu.”
“Dan kakek menulis ‘mereka sudah tahu’. Mereka siapa??” Keduanya terdiam, merenung, tanpa jawaban.
“Dari semua yang ditulis kakek, hanya ada satu hal yang jelas. Yakni suheng diminta memimpin Pek-kiam-pang. Berarti kakek tetap menginginkan suheng menjadi pangcu...”
“Agaknya begitu, sute...” jawab Kai Song. Entah kenapa tiba-tiba dia merasa kerongkongannya seperti tercekik.
Sejumlah anggota Pek-kiam-pang kini memasuki kamar. Suasana gaduh. Kai Song segera memerintahkan anak buahnya mengatur jenasah Can Te Cun. “Siapkan peti mati untuk pangcu kita. Peti mati yang paling bagus.....”
Sementara Han Sin menuruni tangga seperti bermimpi. Apa yang terjadi hari ini benar-benar luar biasa dan sama sekali tak terbayangkan. Para tamu tewas, semuanya berilmu tinggi, perwakilan partai dan perkumpulan ternama. Dan kini kakeknya tewas. Bunuh diri. Dan meninggalkan surat yang tidak dimengerti.
Kenapa kakek bunuh diri? Benarkan terkait dengan pembunuhan para tamu? Bagaimana kaitannya, dan kenapa?
Han Sin membaca kembali surat itu. Membaca berulang-ulang pesan terakhir yang ditujukan untuknya.. Ikuti petunjuk. Ikuti petunjuk. Tapi petunjuk apa? Dia menggelengkan kepala dengan putus asa. (Bersambung)
13 comments:
met pagi bung farry
bung kapan lagi nich cerita thian po di update lagi sampe tamat,sebab sudah lama blm ada update lagi n padahal para pembaca sudah lama menunggu untuk kemunculan lanjutan dari thian po...
@Dunia Impian,
wah makasi apresiasinya... Kayaknya Thian Po belum akan (atau belum bisa) diupdate dalam waktu dekat karena aku juga udah agak lupa gimana ceritanya, hehehe...
Apalagi, aku juga udah lupa password yang dipake di indozone...
Tapi moga2 kelak ceritanya bisa dibikin tamat karena cerita Thian Po ini amat berarti secara pribadi, karena ini cersil pertama yang aku bikin....
Sekali lagi, makasi apresiasinya ya...
Btw, hanya pingin tau, sdr Dunia Impian ini juga dulu suka baca Thian Po di Indozone? pake nama/akun apa?
salam
akun saya di indozone namanya andriyanto,sama dengan saudara fary aku penggemar berat cersil mandarin n sejak 6 sd aku sdh baca karya asmaraman kho ping ho dan karya lainnya. apalagi sejak ada indozone aku jadi sering browsing mencari penulis2 generasi muda pengganti KPH dll
@Dunia,
iya, bagi kita penggemar cersil, Indozone itu merupakan "surga" karena rasa-rasanya semua cersil dari berbagai jenis dan pengarang ada di sana....
Sejak beberapa waktu terakhir aku udah jarang buka indozone, karena "takut". Aku "takut" jadi ketagihan baca dan baca sementara banyak hal yang harus aku lakukan, hehehe...
Kembali ke Thian Po, aku akan upayakan suatu waktu kelak akan menyelesaikan kisahnya. Karena kisahnya memang aku pikir cukup menantang
bung fary saya mau usul nich bagaimana klo thian ponya di update lagi di indozone,ya minimal 1minggu sekali.untuk memberi kejutan kepda penggemar thian po dan juga memberi kejutan kepada para penulis senior lainnya seperti kkabeh,pahlawan dll.
wah usulannya menarik sekali bro Andri. Akan diusahakan bulan Juli nanti aku coba update. Kalo Juni ini kayaknya udah gak keburu, hehehe...
Iya, kayaknya bagus juga jika aku bikin kejutan dan sekalian mengajak teman2 seangkatan dulu untuk bernostalgia ya? hehehe :)
Makasi ya
bung fary kpn nich thian ponya mau di lanjutin lagi....
met malam bung fary,gmana kbrnya nich..
met siang bung fary,gmana kbrnya nich
oh ya bung fary kapan donk bisa berkarya di dunia cersil khususnya karya anda yang berjudul thian po
sore bos,gmana kbrnya nich...
Salam kenal.. Apakah sembilan bab dalam indozone masih lengkap? Kalo tidak mungkin bisa saya bantu kirimkan kembali jadi dengan membacanya bisa kembali di ingat dan bisa melanjutkan.. Makasih
@Dunia Impian, kabarnya masih begitu2 aja bro, belum ada kemajuan, hehe
@beny...
Halo mas Beny, yang di Indozone kayaknya masih lengkap, aku malah udah lupa kalo udah sampe bab 9...
Iya kali aja jika membaca semua kisahnya dari awal aku bisa ingat gimana plot dan bisa meneruskannya ya?
Btw, maksudnya mas Beny mau mengirimkan semua bab2 ke saya?
salam
Post a Comment